-->
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ

Memasuki Bulan Yang Penuh Berkah Tanpa Masalah

SILANG PENDAPAT DALAM PENETAPAN RU’YAH YANG DIPAKAI

Pokok permasalahan ini adalah: Apabila suatu negeri muslimin telah melihat hilal, apakah mengharuskan seluruh kaum muslimin di penjuru dunia beramal dengan ru’yah tersebut?
Imam Asy-Syaukany Rahimahulloh menyebutkan bahwa dalam masalah ini terjadi perbedaan sampai delapan madzhab [Ad-Daroril Mudiyyah 2/172] namun secara garis besar ada tiga pendapat yang masyhur dan kuat dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Wajib bagi kaum muslimin untuk beramal dengan ru’yah tersebut
Ini adalah mazhab Malikiyyah dan Hanafiyyah, masyhur di mazhab Hanabilah, salah satu pendapat di kalangan Syafi’iyyah. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukany, Ibnu Baz dan Al-Albany Rahimahumullohu Ta’ala
Pendapat kedua: Wajib memakai ru’yah jika mathla’nya sama. Yang mereka inginkan dengan mathla’ adalah tempat terbitnya bulan, sehingga dalam waktu yang sama atau berdekatan mereka dapat melihat hilal. Negeri-negeri yang berdekatan dalam waktu terbitnya bulan dikatakan satu mathla’. Ini adalah Mazhab Syafi’iyyah, salah satu pendapat di kalangan Malikiyyah dan Hanafiyyah, salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Al-‘Utsaimin, Muqbil dan lainnya Rahimahumullohu Ta’ala
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dinukil dua pendapat dari beliau. Dalam Majmu’ul Fatawa dengan pendapat pertama dan dalam Al-Ikhtiyaarot dengan pendapat kedua, wallohu a’lam.
Pendapat ketiga: Keputusannya kembali ke Imam kaum muslimin. Ini adalah pendapatnya Ibnu Majisyun Rahimahulloh.
Sisi pandang pendapat ketiga ini keluar dari pokok perbedaan pengamalan ru’yah yang diperselisihkan, karena yang difokuskan adalah masalah lain yaitu ijtima’ul kalimah (kesatuan kata). Oleh sebab itulah dalam pembahasan ini, terlebih dahulu kita fokuskan kepada pendapat pertama dan kedua.
PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MEMAHAMI DALIL
Silang pendapat ini muncul karena perbedaan pendapat pada kalangan ulama –sesuai indikasi-indikasi yang mereka kuatkan- dalam memahami ayat (surat Al-Baqoroh 185) di atas serta hadits-hadits yang berkaitan dengan pensyaratan ru’yah dalam penetapan awal bulan, seperti hadits dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu, dimana Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّي عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعَدَد

“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal Romadhon/ bulan baru) dan berbukalah (selesai menunaikan puasa romadhon) kalian karena melihatnya (hilal Syawal). Apabila (bulannya) tersembunyi (tidak terlihat) maka genapkanlah tiga puluh hari” (HR Bukhory-Muslim)
Juga hadits dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَه

“Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka (‘iedul fithr) sampai kalian melihat hilal. Apabila (bulannya) tersembunyi (tidak terlihat) maka takdirkanlah (tiga puluh hari)” (HR Bukhory-Muslim)
Dalam riwayat lain:
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

“Apabila kalian melihatnya maka berpuasalah kalian. Apabila kalian melihatnya maka berbukalah (‘iedul fithr) kalian. Apabila (bulannya) tersembunyi (tidak terlihat) maka takdirkanlah (tiga puluh hari)” (HR Bukhory-Muslim)
Serta Atsar Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu, termasuk dalil yang bersinggungan langsung dengan perbedaan masalah ini.

Next >>                                                         Halaman 2