Muncul argumen dari sebagian orang yang menyeru manusia kepada fanatisme kelompoknya, menggunakan hadits ini untuk mewajibkan manusia berpegang teguh dengan pendapat Alim tertentu, dengan alasan gurunya sudah sepuh dan berpengalaman.
Sebagai seorang pengikut Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam, tentu kita merasakan keganjilan melihat sisi pendalilan mereka. Telah sama-sama kita ketahui bahwasanya tidak dibenarkan bagi seorang muslim untuk mengikatkan diri sepenuhnya dengan perkataan seseorang kecuali perkataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun, ada baiknya disini kita menukilkan sedikit penjelasan ulama terkait lafazh hadits ini semoga menjadi celah untuk membuka mata hati mereka, dan taufiq hanyalah dari Allah.
Tinjauan Sanad Periwayatan Hadits:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 1902 dan Al-Hakim di Al-Mustadrak no. 210. Al-Hakim (meninggal 405) menghukumi keabsahannya riwayat tersebut dan diikuti oleh Imam Adz-Dzahabi (meninggal 748). Hadits ini tidak diketahui diriwayatkan secara maushul (bersambung) kecuali dari jalan Ibnul Mubaarak, adapun jalan-jalan yang lain diriwayatkan secara mursal (terputus).
Karena itulah hadits dengan lafazh ini dihukumi kecacatannya oleh beberapa imam sebelumnya, seperti:
• Imam Jarh wa Ta’dil Abu Hatim Muhammad bin Idris Ar-Rozy (meninggal 277), sebagaimana isyarat ini dinukilkan oleh anaknya: Imam Ibnu Abi Hatim (meninggal 327) di Kitab Al ‘Ilal no. 2452.
• Imam Ibnu ‘Adi Al- Jurjany (meninggal 365) di Kitab Al-Kamil fi Dhu’afa’ir Rijal (6/ 457). Beliau mengatakan: Lafazh ini diriwayatkan oleh sekelompok orang dari Ibnul Mubarok, mereka menyebutkan sanad lafazh tersebut yang hukum asalnya adalah mursal (terputus).
pendapat ini dikuatkan oleh:
• Imam Al-Baihaqy (meninggal 458) di Syu’abul Iman no.10493 - 10496 (13/ 371-372)
• Imam Al-Khatib Al Baghdady (meninggal 463) di Tarikh Baghdad di biografi ‘Isa bin ‘Abdillah bin Sulaiman Al-‘Asqolany.
• Imam Ibnul Jauzy (meninggal 597) menyebutkan hadits ini di ‘Ilal Al-Mutanahiyyah (1/44).Hal ini juga disinggung oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolany di Lisanul Miizan (4/401)
Syaikh Al-Albany Rahimahullah di As-Silsatus Shohihah (4/380) menguatkan hadits ini dengan dua alasan:
• Menyendirinya Ibnul Mubarak dalam meriwayatkan secara tidak berpengaruh, karena beliau adalah Imam, Tsiqoh Tsabt.
• Terdapat penguat dengan lafazh lain.
Untuk riwayat Ibnul Mubarok sendiri diketahui bahwa terdapat riwayat dimana beliau meriwayatkan secara maushul dan meriwayatkan secara mursal. Hadits secara mursal adalah riwayat yang terdapat di kitab induk Ibnul Mubarok, sementara riwayat maushul diriwayatkan ketika pertempuran dimana ketika itu beliau tidak membawa kitabnya. Kondisi ini diantara alasan yang mendasari ulama terdahulu menghukumi adanya kekeliruan pada Ibnul Mubarak dalam meriwayatkan secara maushul. Pemaparan kondisi periwayatan ini bisa dilihat dari penjelasan Imam Abu Nu’Aim meninggal 430) di Kitab Hilyatul Auliya’ (8/171) dan Imam Az-Zarkasyi (meninggal 794) di kitab beliau At-Tadzkiroh fil Ahaadits Al-Musytaharoh, yaitu hadits yang kesembilan.