بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره،
ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيّئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضلّ له،
ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد ألا إلهٰ إلاّ الله وحده لا شريك له، وأشهد
أنّ محمّدًا عبده ورسوله
Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ
وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ
الصَّلَاةِ، فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ
الصَّلَاةِ، فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَات
“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fithri sebagai penyucian bagi yang berpuasa dari kesia-siaan dan kekejian, serta makanan bagi orang-orang miskin Barangsiapa yang menunaikannya sebelum sholat (‘ied) maka ity adalah zakat yang diterima, barang siapa yang menunaikannya setelah sholat maka itu adalah termasuk shodaqoh.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah, dihasankan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh)
Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan:
فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ
شَعِيرٍ عَلَى العَبْدِ وَالحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ
وَالكَبِيرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ
خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَة
“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fithri sebanyak satu sho’ kurma (kering) atau satu sho’ sya’ir (salah satu jenis gandum) bagi budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak kecil dan orang besar dari kalangan muslimin. Beliau memerintahkan untuk ditunaikan sebelum orang-orang keluar melakukan sholat” (HR Bukhory-Muslim)
BAGI SIAPA ZAKAT FITHRI DIWAJIBKAN?
Hadits Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu
di atas menjelaskan bahwa kewajiban tersebut berlaku umum bagi setiap
muslimin. Tentunya ini berlaku pada orang-orang yang hidup, adapun orang
yang telah meninggal atau belum dipastikan hidupnya di dunia (yaitu
janin dalam kandungan)[1] tidak terkena kewajiban ini.
SIAPAKAH YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITHRI?
Berdasarkan sebabnya, maka sedekah dan
zakat di dalam syari’at Islam, ada yang terkait dengan amalan badan dan
ada yang terkait dengan harta yang dimiliki seorang hamba. Adapun zakat
fithri maka ia termasuk kepada golongan pertama berdasarkan hadits Ibnu
‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu di atas, dimana Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak merinci hukum berdasarkan harta. Perbedaan ini perlu diketahui karena bolehnya pemberian kepada ashnaf (kelompok-kelompok) yang delapan -sebagaimana Alloh sebutkan dalam surat At-Taubah ayat 60[2]- adalah hukum yang berlaku bagi zakat harta. Ijma’ (sepakat) para ulama muslimin bahwa yang dimaksud dengan shodaqoh di ayat tersebut adalah zakat harta.
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Hal ini apabila (terkait dengan) shodaqoh-shodaqoh harta bukan badan, dengan kesepakatan kaum muslimin” [Majmu’ul Fatawa 25/76]
Adapun zakat fithri, maka zakat ini dikhususkan bagi fakir miskin berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu di atas. Dengan demikian maka ‘amil (pengurus zakat) tidak boleh mengambilnya kecuali jika dia tergolong fakir miskin maka dia boleh mengambil, bukan karena dia ‘amil
akan tetapi karena dia miskin. Hal ini sebagaimana kewajiban-kewajiban
lain dalam syari’at yang mesti dikeluarkan seorang hamba, terkait amalan
badan.
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Sesungguhkan shodaqoh fithri sejalan (hukumnya) dengan kaffarroh sumpah, zhihar, pembunuhan serta berhubungan intim di bulan romadhon. Demikian juga sejalan (hukumnya) dengan kaffarroh haji, karena penyebab semua itu adalah badan bukan harta” [Majmu’ul Fatawa 25/73]
Di atas kondisi inilah amalan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, para shohabat Rodhiyallohu ‘anhum, serta orang-orang setelah mereka.
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Dahulu diantara petunjuk beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah pengkhususan orang-orang miskin dengan shodaqoh (fithri) ini. Beliau tidak pernah membaginya kepada ashnaf
yang delapan segenggam pun, dan beliau juga tidak pernah memerintahkan
untuk itu. Tak seorang pun dari para shohabatnya yang melakukan hal
demikian, tidak juga orang-orang yang setelah mereka” [Zaadul Ma’aad 2/12]
Next >> Halaman 1