إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد:
Sudah menjadi sebuah kemakluman bahwa dakwah ini dibangun di atas ta’awwun baik dari segi tenaga, harta, pikiran maupun apa-apa yang bisa dikorbankan seorang hamba, sebagai “pinjaman” yang kelak akan Alloh balas dengan berlipat ganda. Alloh Jalla wa ‘Ala berfirman:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Alloh berupa pinjaman yang baik maka Alloh akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak”. (QS Al-Baqoroh 245)
Alloh Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّة
“Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka”. (QS At-Taubah 111)
Di antara bentuk ta’awwun dari segi harta yang dikenal kaum muslimin adalah santunan yang diberikan kepada dua unsur pembangun dakwah: para penuntut ilmu, dan pengajar agama. Yang menjadi pembahasan kita adalah jenis yang terkait dengan unsur terakhir (yakni santunan untuk pengajar), karena pada sebagian orang pembicaraan yang hangat bisa tiba-tiba panas ketika menyinggung topik ini. Hal itu tak lain disebabkan ditemukannya sebagian pengajar yang terkesan memaksa atas nama ta’awwun, dan ada juga sebagian orang yang menjadikan keberadaan santunan untuk sebagai bahan ejekan untuk merendahkan sebagian pengajar yang lain.
Oleh karena itu perlu kiranya kita mengenali lebih dekat permasalahan ini agar bisa sehingga bisa menyikapinya dengan sikap yang sesuai tanpa menimbulkan permasalahan yang lebih besar, wallohu a’lam.
Next>> Halaman 1
