PENTINGNYA MENGETAHUI PENDAPAT-PENDAPAT ULAMA DAN INTI PERSELISIHAN DALAM SEBUAH PERMASALAHAN SYAR’I
Mengetahui
perselisihan ulama adalah perkara yang penting bagi seorang penuntut
ilmu, karena dengannya dia bisa mengetahui dalil-dalil masing-masing
pihak yang menjadi dasar untuk melihat mana pendapat yang paling
mencocoki tanpa memilih sebagian dalil dan meninggalkan sebagian yang
lain.
Imam Asy-Syafi’i Rahimahullohu Ta’ala mengatakan:
“Kami tidak mengetahui seorang lelaki pun yang mengumpulkan
sunnah-sunnah, tidak ada sedikitpun yang luput darinya. Apabila
dikumpulkan ilmu para ulama maka dia akan datang pada sunnah-sunnah itu.
Jika ilmu setiap mereka dipisah-pisah maka akan ada sesuatu yang luput,
kemudian yang luput tersebut ada pada yang lainnya”. [Ar-Risalah 42-43]
Dengannya
mereka bisa melihat mana perselisihan yang sengit dan mana perselisihan
yang bisa dikatakan tidak bernilai, karena hal itu menjadi dasar
baginya untuk memilih pola dalam menguraikan perselisihan.
Dengannya
dia bisa menilai pendapatnya sendiri, jangan sampai dia meributkan
sesuatu yang orang-orang sebelumnya tidak mempermasalahkannya padahal
perkara yang sama sudah ada di zaman mereka. Diantara konsekwensi adanya
Tho’ifatul Manshuroh di setiap zaman, tak ada suatu zaman pun
yang kosong dari pengingkaran kebatilan. Kalau memang perkara yang
diributkannya adalah sebuah perkara kebatilan, maka kemana para
pengingkar kebatilan yang sudah berlalu sebelumnya?
Tak
kalah pentingnya yang mesti dicermati seorang penuntut ilmu adalah
mengetahui inti sebuah permasalahan. Karena hal tersebut menunjukkan
pemahaman seseorang tentang apa yang dibicarakannya, campur aduk masalah
bukanlah ilmu, tarik-menarik kasus bukanlah sebuah pembahasan. Karena
itu bagi seorang muslim untuk bisa memilah-milah perkara sesuai
spesifikasinya karena syari’at ini menghukumi sesuatu yang berbeda
dengan hukum yang berbeda pula.
PERSELISIHAN PENDAPAT HANYALAH PADA KONDISI APABILA PENGAJAR TERSEBUT MENSYARATKAN ADANYA IMBALAN ATAS PENGAJARAN
Perlu
diingat bahwa perselisihan pendapat ulama dalam masalah santunan
pengajar ini adalah pada kondisi: Apabila pengajar mensyaratkan adanya
pemberian upah untuk mengajar. Adapun jika santunan tersebut
diberikan tanpa diminta dan pengajar tersebut tidak mensyaratkan upah
untuk mengajar, maka tidak ditemukan ada ulama yang berpendapat akan
pelarangannya. Insyaalloh akan datang pemaparannya setelah kita selesai menyinggung kondisi yang diperselisihkan.
DALIL-DALIL SEPUTAR PERMASALAH SANTUNAN BAGI PENGAJAR
Para
ulama biasanya menyinggung masalah ini dalam permasalahan pengambilan
upah dalam mengajarkan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an adalah asalnya ilmu.
Mereka berselisih dalam tiga pendapat dalam memahami dalil-dalil terkait
masalah ini.
Oleh
karena itu kita mulai dari penyebutan dalil-dalil yang secara garis
besar bisa dibagi kedua kelompok: Dalil-dalil yang mengisyaratkan pada
pelarangan dan dalil-dalil yang mengisyaratkan pada pembolehan. Untuk
menyingkat pembahasan kita tidak akan menyinggung dalil-dalil yang dho’if (lemah) baik dari sisi sanad maupun sisi pendalilan.
[Dalil-Dalil Yang Mengisyaratkan Pada Pelarangan]
Dari Al-Qur’an:
Firman Alloh Ta’ala tentang perkataan Nuh ‘Alaihis Salaam kepada kaumnya:
وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى الله
“Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kalian (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Alloh”. (QS Huud 29)
Firman Alloh Ta’ala tentang perkataan Huud ‘Alaihis Salaam kepada kaumnya:
يَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى الَّذِي فَطَرَنِي أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepada kalian bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari Dzat Yang yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kalian berpikir?”. (QS Huud 51)
Next >> Halaman 2