-->
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ

BISAKAH MENGHADIAHKAN PAHALA BAGI ORANG YANG TELAH MENINGGAL (MAYYIT) Ibadah-Ibadah Maaliyyah

بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد:


Kali ini kita akan menyinggung hadits dari ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha. yang terkait dengan masalah menghadiahkan pahala bagi orang yang telah meninggal. ‘Aisyah Rodhiallohu ‘Anha mengatakan: “Sesungguhnya seorang lelaki mendatangi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kemudian berkata: “Wahai Rosululloh, sesungguhnya ibuku telah meninggal tiba-tiba dan tidak mewasiatkan apa-apa. Aku menduga kalau dia mampu berbicara maka dia akan bersedekah. Apakah dia mendapat pahala jika aku bersedekah atas namanya?”. Beliau menjawab: “Ya”. (HR Muslim). Masih banyak hadits semisal dalam masalah ini, insyalloh beberapa diantaranya kita lewati seiring dengan pembahasan, wallohul musta’aan

SILANG PENDAPAT ULAMA SEPUTAR PENGHADIAHAN PAHALA BAGI ORANG YANG TELAH MENINGGAL (MAYYIT)
Sebelum masuk ke perincian, kita simak dulu penggambaran masalah secara umum yang disebutkan oleh Imam An-Nawawy Rahimahulloh, beliau berkata dalam menjelaskan hadits ‘Aisyah di atas: “Pada hadits ini terdapat dalil bahwasanya sedekah atass nama orang yang telah meninggal, bermanfaat baginya dan pahalanya sampai kepada orang yang meninggal tersebut, hukum ini juga sebagaimana Ijma’ (kesepakatan) para ulama. Mereka juga ijma’ akan sampainya do’a dan hutang yang dibayarkan (yakni tanggung jawab si mayyit atas hutang-hutangnya terlepas jika dibayarkan -pent) berdasarkan dalil-dalil yang datang tentang seluruh perkara tersebut, demikian juga sahnya haji atas nama mayyit apabila haji tersebut adalah haji Islam (yakni haji wajib –pent). Juga jika (semasa hidup) si mayyit mewasiatkan untuk dihajikan dengan haji tathowwu’ (sunat) maka hajinya sah menurut pendapat yang paling kuat di sisi kami.


Para ulama berselisih dalam masalah puasa apabila orang tersebut meninggal dan dia punya hutang puasa, pendapat yang lebih kuat adalah bolehnya puasa tersebut dibayarkan (orang lain) berdasarkan hadits-hadits shohih dalam masalah ini.
Yang masyhur di madzhab kami (Syafi’i) bahwasanya pembacaan Al-Qur’an tidak sampai pahalanya kepada mayyit. Sebagian sahabat kami (para ulama madzhab Syafi’i) berpendapat pahalanya sampai, dan ini adalah pendapat Ahmad bin Hanbal.
Adapun sholat dan seluruh ketaatan (yakni amalan badan yang lain -pent) tidak sampai pahalanya, di sisi kami, tidak pula di sisi jumhur (mayoritas) ulama. Sementara Ahmad berpendapat pahalanya sampai sebagaimana haji”. [Syarh Shohih Muslim 7/90]

HUKUM SEDEKAH ATAS NAMA MAYYIT DAN BERBAGAI AMALAN MAALIYYAH (YANG TERKAIT DENGAN HARTA)
Apabila yang membayarkan adalah anaknya, baik pada sedekah ataupun amalan-amalan maaliyyah yang lain seperti pembayaran hutang, pembebasan budak, maka semua ulama baik yang terdahulu maupun yang belakangan sepakat akan keabsahannya, dan sampainya pahala bagi si mayyit jika dialokasikan kepada kebajikan.
Adapun jika dibayarkan oleh orang lain maka ada segelintir ulama belakangan yang mengatakan tidak sahnya yaitu Imam Asy-Syaukany (wafat 1250) dan Imam Al-Albany (wafat 1420) Rahimahumalloh. [Lihat: Nailul Author 4/142, Ahkamul Janaiz 219]
Dalil yang mereka berdua bawakan adalah firman Alloh Ta’ala:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”, (QS An-Najm 39)
Sisi pendalilannya: Pada ayat ini terdapat pembatasan bahwa yang bisa bermanfaat bagi seseorang setelah meninggalnya, hanyalah hasil amalannya semasa hidup. Anak adalah hasil usahanya, sementara orang lain tidak. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

أطيب ما أكلتم من كسبكم وإن أولادكم من كسبكم

“Sebaik-baik apa yang kalian makan adalah dari usaha kalian. Sesungguhnya anak-anak kalian adalah termasuk usaha kalian”. (HR Ibnu Majah dari 'Aisyah, dishohihkan Syaikh Al-Albany)
Karena itulah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه


“Apabila seorang manusia meninggal maka amalannya akan terputus kecuali dari tiga perkara: sedekahnya yang terus berjalan (yang masih dimanfaatkan setelah meninggalnya), ilmu yang dimanfaatkan dan anak sholih yang mendo’akannya”. (HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)


Next>>                                                  Halaman 1