-->
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ

BISAKAH MENGHADIAHKAN PAHALA BAGI ORANG YANG TELAH MENINGGAL (MAYYIT) ? (bagian dua: Ibadah-Ibadah Badaniyyah)

بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد:

HUKUM MENGHADIAHKAN PAHALA BAGI MAYYIT DENGAN AMALAN BADANIYYAH (YANG TERKAIT DENGAN PERBUATAN LISAN DAN ANGGOTA BADAN)

Sebagaimana disebutkan Imam An-Nawawi di awal-awal pembahasan, terdapat banyak perselisihan dalam masalah ini. Insyalloh akan dirinci berdasarkan dalil-dalil yang datang pada ibadah-ibadah badaniyyah tersebut. Kita mulai dengan amalan-amalan yang ada pendalilannya secara khusus.

AMALAN AMALAN YANG ADA PENDALILANNYA SECARA KHUSUS

1. DO’A DAN ISTIGHFAR (PERMINTAAN AMPUN) UNTUK MAYYIT
Masalah ini banyak sekali dalil-dalilnya –diantaranya telah disinggung sebelumnya- yang sekaligus menunjukkan bahwa bermanfaatnya do’a bagi mayyit tidak terbatas dari anaknya yang sholih saja.
[Masalah penting]
Diantara dalil yang menunjukkan disyari’atkannya mendo’akan kaum muslimin yang telah meninggal adalah hadits yang diriwayatkan dari ‘Utsman bin ‘Affan Rodhiyallohu ‘Anhu, dimana beliau mengatakan: “Dahulu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam jika selesai dari penguburan mayyit, beliau berdiri lalu mengatakan:

اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ، وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ، فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ

“Mintalah ampunan bagi saudara kalian dan mintakanlah baginya pengokohan, karena dia sekarang sedang ditanya”. (HR Abu Daud, dishohihkan Syaikh Al-Albany)
Adapun makna “pengokohan” adalah sebagaimana yang disebutkan Al-Baroo’ bin ‘Azib Rodhiyallohu ‘Anhu dari Rosululloh Shollalohu ‘Alaihi wa Sallam tentang firman Alloh Ta’ala:

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ

“Allah mengokohkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh tersebut dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”. (QS Ibrohim 27)

Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: 

فِي القَبْرِ إِذَا قِيلَ لَهُ: مَنْ رَبُّكَ، وَمَا دِينُكَ، وَمَنْ نَبِيُّكَ

“Di dalam kuburan, ketika ditanyakan kepadanya: “Siapa Robbmu?, Apa agamamu? Siapa nabimu?” (Hadits Shohih. HR Tirmidzi, asalnya di Shohihain. Dizhohihkan Syaikh Al-Albany)

Masalah yang sengaja ingin disinggung dengan penyebutan hadits tersebut adalah: “Hukum mentalqin mayyit di kuburannya selepas penguburan”.
Bentuknya: “Ditalqinkan (didiktekan) kepada mayyit: “Wahai fulan bin fulanah, sebutkan apa yang dahulu kamu yakini di dunia: “Syahadat Laa ilaha illalloh wa Anna Muhammadan ‘Abduhu wa Rosuluhu”, dan bahwasanya engkau ridho dengan Alloh sebagai Robb, dan Islam sebagai agama … dst”.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Amalah ini mustahab (sunat). Ini adalah pendapat sebagian ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. [Lihat: Al-Madkhol 2/264, At-Taaj wal Ikliil 2/237, Al-Majmu’ 3/273, Mughnil Muhtaaj 2/60, Al-Mughni 3/437, Al-Furu’ 2/265, Majmu’ Fatawa 24/296]
Dalilnya:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Umamah Al-Baahily Rodhiyallohu ‘Anhu, bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلَانَ بْنَ فُلَانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلَا يُجِيبُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلَانَ بْنَ فُلَانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلَانَ بْنَ فُلَانَةَ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللهُ، وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ. فَلْيَقُلْ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ وَيَقُولُ: انْطَلِقْ بِنَا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُو
نُ اللهُ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا
 
“Apabila salah seorang dari saudara kalian meninggal dan kalian telah meratakan kuburannya, maka berdirilah salah seorang diantara kalian di bagian kepala kuburnya dan mengatakan: “Wahai Fulan bin Fulanah (nama ibunya)”, sesungguhnya dia (mayyit) mendengar namun tidak menjawab.
Lalu katakanlah: “Wahai Fulan bin Fulanah”, maka dia (mayyit) akan duduk. Lalu katakanlah: “Wahai Fulan bin Fulanah”, maka dia (mayyit) akan mengatakan: “Arahkanlah kami semoga Alloh merahmatimu”, akan tetapi kalian tidak menyadari (perkataannya). 

Lalu hendaklah dia (orang yang mentalqin) mengatakan: “Bacalah apa yang engkau berada diatasnya sebelum keluar dari dunia: Syahadah Laa ilaha illalloh wa Anna Muhammadan ‘Abduhu wa Rosuluhu, engkau ridho dengan Alloh sebagai Robb, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi dan Al-Qur’an sebagai imam”.
Maka sesungguhnya Munkar dan Nakir, salah seorang diantara mereka akan menarik tangan temannya dan mengatakan: “Ayo pergi, kita tidak duduk pada seseorang yang telah ditalqinkan hujjahnya”. Allohlah yang mendatangkan hujjah atas mereka berdua”.

Salah seorang lelaki mengatakan: “Wahai Rosululloh, seandainya orang yang mentalqin tidak mengetahui nama ibunya (mayyit)?”. Rosululloh berkata: “Nasabkan dia kepada Hawwa, yaa Fulan bin Hawwa”. (HR Ath-Thobrony di Mu’jamul Kabiir)

2. Amalan penduduk Syam sejak dulu. [Lihat Al-Majmu’ karya Imam An-Nawawy 5/274]
Pendapat kedua: Amalan ini boleh-boleh saja, tidak sampai mustahab. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad, dan inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. [Lihat: Majmu’ Fatawa 24/296-299, Ikhtiyaarul Fiqhiyyah 89]
 
Dalilnya:

1. Amalan ini dinukilkan dari sebagian shohabat seperti Abu Umamah Al-Bahily dan Watsilah bin Al-Asqo’, dan selain mereka. [Lihat: Majmu’ul Fatawa 24/297-298]

2. Apabila mayyit mendengar suara sandal maka dia juga mendengar talqin.
Pendapat ketiga: Amalan ini terlarang alias bid’ah. Pendapat ini disandarkan pada sebagian ulama Malikiyyah. Alasannya: bahwa tidak ada dalil yang sah tentang masalah ini, dan perkara ibadah tauqifiyyah (harus dibangun di atas dalil). [Lihat: Majmu’ Fatawa 24/296-298]
Inilah pendapat yang benar, pendapat ini dikuatkan oleh para ulama semisal: Imam Ash-Shon’any, Muhammad bin Ibrohim Alu Syaikh (wafat 1389), Ibnu Baz, Ibnul ‘Utsaimin, Abdurrozaaq ‘Afify, ‘Abdulloh bin Qu’ud, Abdulloh bin Ghudayyan, Shalih Al Fauzan, Bakr Abu Zaid, Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, Yahya Al-Hajury [Lihat: Subulus Salaam 1/502, Fatawa wa Rosa-il Samahatisy Syaikh Muhammad bin Ibrohim 3/196, Majmu’ Fatawa Ibni Baaz 13/315, Majmu’ Fatawa wa Rosa-ilil ‘Utsaimin 17/75, Fatwa Lajnah Ad-Da-imah 1/2/460 dan 2/7/325, Kanzuts Tsamin 3/194-195]

Next>>                                                  Halaman 1