-->
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ

BISAKAH MENGHADIAHKAN PAHALA BAGI ORANG YANG TELAH MENINGGAL (MAYYIT) ? (bagian dua: Ibadah-Ibadah Badaniyyah)

Jawaban bagi dalil-dalil kelompok pertama dan kedua:
1. Hadits yang disandarkan kepada Abu ‘Umamah Al-Bahily adalah hadits dho’if (lemah). Perkataan Ibnu Hajar Rahimahulloh (di Talkhisul Habiir 2/135) bahwa hadits ini bisa dipakai berhujjah adalah pendapat yang lemah karena pada sanadnya terdapat Sa’id bin ‘Abdillah Al-Audy, tidak dikenal. [Lihat: Irwa-ul Gholil karya Syaikh Al-Albany 3/203-204]
Bahkan sebelumnya, Al-Haitsamy (gurunya Ibnu Hajar) Rahimahumulloh mengatakan: “Pada sanadnya terdapat sekelompok orang yang tak kukenal”. [Majmu’uz Zawa-id 3/48]
Perkataan Al-Haitsaimy: “sekelompok orang”, terdapat pada sanad-sanad yang lain semisal sanad yang diriwayatkan ibnu Asakir. Di sanad tersebut, selain Al-Audy masih ada ‘Abdulloh bin Muhammad Al-Qurosyi yang tak dikenal.
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Hadits ini disepakati kelemahannya tidak bisa ditegakkan untuk hujjah”. [Zaadul Ma’ad 1/325]
Demikian juga alasan Ibnu Hajar –juga An-Nawawy (Al-Majmu’ 5/274-275)- Rahimahumulloh bahwa “hadits ini memiliki penguat sehingga bisa dipakai sebagai hujjah”, merupakan pendapat yang lemah karena penguat-penguat yang dibawakan adalah hadits-hadits seputar do’a untuk mayyit, antara penguat dan yang dikuatkan masalahnya lain. [Lihat: Irwa-ul Gholil 3/204]
2. Amalan penduduk Syam bukanlah dalil. Justru menunjukkan bahwa perkara tersebut diada-adakan tidak dikenal di
zaman salafush sholih, sebagaimana Ibnu Qudamah mengatakan: “Adapun talqin setelah penguburan, maka aku tidak mendapatkan riwayat apapun dari Ahmad (bin Hanbal), demikian juga aku tidak mengetahui perkataan para Imam kecuali yang diriwayat Al-Atsram, dia berkata: “Aku katakan kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal): “Yang dilakukan oleh orang-orang apabila mayyit telah dikubur maka salah seorang lelaki berdiri dan mengatakan: “Wahai Fulan bin Fulanah sebutlah apa yang engkau di atasnya ketika engkau berpisah dengan dunia: Syahadah laa ilaha illlalloh”.
(Imam Ahmad) berkata: “Aku tak melihat seorangpun melakukannya kecuali penduduk Syam ketika Abul Mughiroh meninggal, datang seseorang melakukan hal itu (talqin)”. [Al-Mughny 3/437]
3. Amalan yang dinukilkan dari sebagian shohabat tidak memiliki sanad yang diketahui. Bahkan pernyataan Imam Ahmad di atas menegaskan bahwa perkara ini hanyalah amalannya orang-orang Syam.
4. Pengqiyasan talqin dengan derap sandal bukanlah pengqiyasan yang tepat karena yang pertama adalah ibadah sementara ibadah bersifat tauqifiyyah (harus ada dalil), kemudian derap sandal tidaklah mendatangkan bahaya ataupun manfaat bagi mayyit. [Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baaz 13/207]
Selain itu, hukum asalnya mayyit tidak bisa mendengarkan apa-apa, sebagaimana Alloh berfirman:


إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى

“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar”. (QS An-Naml 80)
Maka tidak bisa keluar dari hukum asal ini kecuali ada dalil yang mengecualikannya.

2. HAJI DAN ‘UMROH (YANG WAJIB) ATAS NAMA MAYYIT
Haji dan ‘umroh merupakan amalan ibadah yang diperbolehkan dilakukan dengan orang pengganti semasa hidup. Hal tersebut apabila orang yang hendak melakukan haji tidak memiliki kemampuan untuk melakukan manasik haji.
Diantara dalilnya, hadits Abu Rozin Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya beliau mendatangi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan mengatakan: “Sesungguhnya ayahku seorang yang tua renta, tidak mampu haji, tidak umroh dan tidak juga mampu duduk di atas tunggangan”. Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alihi wa Sallam bersabda:

حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِر

 
“Hajilah dan umrohlah atas nama ayahmu”. (HR Ahmad, shohih)
Kisah yang semisal di Shohih Al-Bukhory dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu, namun yang ditanyakan penanya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alihi wa Sallam adalah masalah penggantian dalam haji saja.
Yang menggantikan tidak mesti anak, sebagaimana dijelaskan di pembahasan sebelumnya dan tidak ada dalil yang membatasi hal tersebut.
Hukum amalan atas nama mayyit dengan haji maupun ‘umroh (bagi yang berpendapat bahwa ‘umroh hukumnya wajib)

Next>>                                                  Halaman 2