-->
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ

BISAKAH MENGHADIAHKAN PAHALA BAGI ORANG YANG TELAH MENINGGAL (MAYYIT) Ibadah-Ibadah Maaliyyah

Ketiga perkara yang disebutkan adalah perkara yang merupakan hasil usaha si mayyit ketika hidupnya.
Jawaban atas pendalilan di atas:
Jawaban Pertama: Pemahaman Tentang Kandungan Ayat 39 Di Surat An-Najm Serta Hadits Dari Abu Hurairoh Di Atas
Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan: “Yang dimaksud dengannya –wallohu a’lam- bahwasanya seseorang tidak memiliki hak sedikitpun dari usaha orang lain sebagaimana dia tidak akan memikul dosa orang lain sedikitpun. Bukan maksudnya pahala usaha orang lain tidak bisa sampai kepadanya, karena banyaknya dalil-dalil yang datang tentang sampainya pahala seseorang kepada orang lain dan bermanfaatnya hal tersebut bagi orang tersebut selama dia (yang melakukan amalan) memaksudkan untuk itu. Diantara perkara-perkara tersebut:

1. Do’a. Orang yang dido’akan mendapatkan manfaat dengan do’a tersebut berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ muslimin. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada Nabi-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:

وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Alloh mengetahui tempat kalian berusaha dan tempat tinggal kalian”. (QS Muhammad 19)
Alloh Ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ جَآءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإَيمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِينَءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
 
“Orang-orang yang datang sesudah mereka (orang-orang yang lebih dahulu beriman), mereka berdoa: "Yaa Robb Kami, beri ampunlah kepada kami dan kepada saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, serta janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Yaa Robb kami, Sesungguhnya Engkau Ro-uuf (Dzat Yang Maha Penyantun) lagi Rohiim (Dzat Yang Menyampaikan Rahmat-Nya kepada hamba-Nya)". (QS Al-Hasyr 10)
Orang-orang yang mendahului mereka dengan keimanan adalah kaum Muhajirin dan Anshor, sementara orang-orang yang datang setelah mereka adalah para tabi’in dan orang-orang setelah mereka sampai hari kiamat.
Juga sah dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memejamkan mata Abu Salamah setelah meninggalnya, kemudian berkata:
 
اللهم اغفر لأبي سلمة، وارفع درجته في المهديين، واخلفه في عقبه، وافسح له في قبره، ونور له فيه

“Yaa Alloh ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya ke Mahdiyyin, berikanlah gantinya pada keluarganya, lapangkanlah dan terangkanlah baginya di kuburnya”.
Dahulu Rosululloh menyolatkan jenazah kaum muslimin dan berdo’a untuk mereka, beliau menziarohi kuburan dan mendo’akan penghuninya, umatnya pun mengikuti beliau dalam perkara tersebut sampai-sampai perkara ini menjadi perkara dalam agama Islam yang diketahui oleh segenap kaum muslimin.
Demikian juga telah sah dari beliau bahwa beliau bersabda:

ما من رجل مسلم يموت، فيقوم على جنازته أربعون رجلاً لا يشركون بالله شيئاً، إلا شفَّعهم الله فيه

 
“Tidaklah seorang muslim meninggal, kemudian sholat atas jenazahnya (yakni melakukan sholat jenazah) empat puluh orang lelaki yang tidak berbuat syirik (mempersekutukan) dengan Alloh sedikitpun, kecuali Alloh akan menjadikan mereka sebagai syafa’at bagi mayyit itu”.
Perkara ini, tidak bertentangan dengan sabda Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه

 
“Apabila seorang manusia meninggal maka amalannya akan terputus kecuali dari tiga perkara: sedekahnya yang terus berjalan (yang masih dimanfaatkan setelah meninggalnya), ilmu yang dimanfaatkan dan anak sholih yang mendo’akannya”. (HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Karena yang dimaksud dalam hadits ini adalah (pengecualian) pada amalan insane itu sendiri, bukan terputusnya amalan orang lain untuknya. Hanya saja do’a anak yang sholih merupakan amalannya (orang tua) karena sesungguhnya anak itu adalah usahanya, dari sisi dialah yang menjadi sebab keberadaan anak itu. Maka seolah-olah do’a anak bagi orang-tuanya seperti do’a orang tua untuk dirinya sendiri. Lain halnya jika si anak mendo’akan saudaranya maka itu buka termasuk ke dalam amalan saudaranya tersebut walaupun dia mendapatkan manfaat darinya.
Maka pengecualian yang ada di hadits, berupa terputusnya amalan mayyit itu sendiri, bukan terputusnya amalan orang lain untuknya, karena itu tidak dikatakan dalam hadits: “terputusnya amalan untuknya”, akan tetapi dikatakan: “terputusnya amalannya”, kedua ungkapan ini memiliki perbedaan yang nyata. [Lihat: Majmu’ Fataawa wa rosa-il Al-‘Utsaimin 17/256-266]. Penjelasan semisal sebelumnya juga disebutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Hazm Rahimahumulloh. [Lihat Majmu’ul Fataawa 24/311, Al-Muhalla 7/4]

Next>>                                                  Halaman 2