-->
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ

BISAKAH MENGHADIAHKAN PAHALA BAGI ORANG YANG TELAH MENINGGAL (MAYYIT) Ibadah-Ibadah Maaliyyah

Kemudian Syaikh ‘Utsaimin Rahimahulloh menyebutkan perkara-perkara lain -beserta dalil-dalilnya- yang menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal bisa saja mendapatkan manfaat amalan orang lain. Beliau menyebutkan: sedekah, puasa, haji –insyaalloh akan datang penjelasan pada tempatnya-, sembelihan (termasuk ibadah maaliyah namun insyaAlloh adalah datang penyebutannya secara khusus), diambilnya amalan zholim oleh orang yang dizholimi pada hari kiamat, serta diangkatnya derajat anak ke kedudukan bapaknya di surga, sebagaimana dalam firman-Nya:

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَعِيمٍ * فَاكِهِينَ بِمَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ وَوَقَاهُمْ رَبُّهُمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ * كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ * مُتَّكِئِينَ عَلَى سُرُرٍ مَصْفُوفَةٍ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ * وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِين
 

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam surga dan kenikmatan, mereka bersuka ria dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Robb mereka, dan Robb mereka memelihara mereka dari azab neraka. (Dikatakan kepada mereka): "Makan dan minumlah dengan enak sebagai balasan dari apa yang telah kalian kerjakan". Mereka bertelekan di atas dipan-dipan berderetan dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik bermata jeli. Orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami sertakan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”. (QS At-Thuur 17-21) 

Jawaban Kedua: Adanya Ijma’ Ulama Sebelum Mereka Berdua (Asy-Syaukany dan Al-Albany) Akan Sahnya Ibadah Maaliyyah Atas Nama Mayyit
Ijma’ ulama dalam masalah ini secara umum tanpa merinci perbedaan antara anak atau bukan anak, apakah amalan tersebut diwasiatkan oleh mayyit atau tidak. Sebagaimana dimaklumi bahwa apabila telah terjadi ijma’ pada suatu masa, maka tidak boleh bagi orang setelahnya untuk menyelisihi ijma’ tersebut. Karena para ulama umat ini tidak akan sepakat di atas sesuatu yang keliru.
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Apabila telah terjadi ijma’ umat ini pada suatu hukum, maka tidak bisa seorangpun keluar dari ijma’ mereka”. [Majmu’ul Fatawa 20/ 10]

Selain Imam An-Nawawy (wafat 676) masih ada ulama-ulama lain seperti Ibnu Taimiyyah (wafat 728) dan muridnya: Ibnu Katsir (wafat 774) Rahimahumullohu Ta’ala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh mengatakan: “Tidak ada perselisihan antara ulama ahlussunnah wal jama’ah tentang sampainya pahala ibadah maaliyyah seperti sedekah dan memerdekakan budak”. [Majmu’ul Fatawa 24/366]
Bahkan sebelum mereka, ijma’ ini tel
ah dinukilkan sebagian ulama dan salaf yang menunjukkan bahwa ijma’ ini terjadi sangat jauh sebelum zaman mereka berdua (Asy-Syaukany dan Al-Albany) yaitu: Imam Ibnu ‘Abdil Barr (wafat 463), beliau mengatakan: “Para ulama seluruhnya sepakat bahwasanya sedekah orang yang hidup atas nama orang yang telah meninggal hukumnya boleh lagi mustahab”. [Al-Istidzkaar 7/257]
Sebelumnya, Ijma’ tersebut disebutkan Imam Ibnul Mubaarok (wafat 181) sebagaimana disebutkan Imam Muslim di Muqoddimah Shohihnya. Beliau berkata: “Muhammad (yaitu Muhammad bin ‘Abdillah bin Qohzaadz, salah seorang guru Imam Muslim) mengatakan: “Aku mendengar Abu Ishaq Ibrohim bin ‘Isa Ath-Tholaqoony berkata: “Aku berkata ke ‘Abdulloh ibnul Mubaarok: “Wahai Aba ‘Abdirrohman, (bagaimana dengan) hadits:

إن من البر بعد البر أن تصلي لأبويك مع صلاتك، وتصوم لهما مع صومك
 

“Sesungguhnya termasuk kebaikan setelah kebaikan engkau sholat untuk kedua orang tuamu bersamaan dengan sholatmu, dan engkau berpuasa bagi mereka bersamaan dengan puasamu”.
‘Abdulloh (Ibnul Mubaarok) berkata: “Wahai Aba Ishaq, dari siapa hadits ini?”. Aku berkata kepadanya: “Ini dari Hadits Syihaab bin Khiroos”. Dia (Ibnul Mubaarok) berkata: “(Dia) Tsiqoh. Dari siapa dia meriwayatkannya?”. Aku berkata: “Dari Al-Hajjaj bin Diinaar”. Dia (Ibnul Mubaarok) berkata: “(Dia) Tsiqoh. Dari siapa dia meriwayatkannya?”. Aku berkata: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam”. Dia (Ibnul Mubaarok) berkata: “Wahai Abu Ishaq sungguh antara Al-Hajjaj bin Diinaar dan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam terdapat daerah-daerah terpencil, jauh dari sumber air yang bisa mematahkan leher hewan tunggangan (yakni Al-Hajjaj adalah tabi’ut tabi’in, dua generasi setelah Rosululloh, mesti terdapat beberapa perantara sehingga dia bisa meriwayatkan perkataan Rosululloh –pent). Akan tetapi, tidak ada khilaf (perselisihan) dalam masalah sedekah”. (Muqoddimah Shohih Muslim 1/16, sanad dari Imam Muslim sampai ke Ibnul Mubaarok: hasan)

Next>>                                                  Halaman 3