Maka
seperti inilah dikatakan pada perkara-perkara yang semisal, karena
syari’at dibangun di atas pencapaian dan pengoptimalan maslahat serta
penghilangan dan peminimalan mafsadah. [Majmu’ul Fatawa 30/192-193]
Pendapat ketiga inilah yang dipilih Syaikh kami Yahya bin ‘Ali Al-Hajury Hafizhohulloh, beliau mengatakan: “Dalam masalah upah untuk mengajar (ta’lim) pendapat yang benar dalam masalah ini adalah dengan perincian:
Apabila orang tersebut memiliki hajat yang mendesak, dia dalam posisi mengajar kaum muslimin dan tafarrugh (menghabiskan waktu) untuk itu, maka boleh baginya mengambil kadar yang mencukupinya dengan menyaratkan.
Apabila
kondisinya cukup dari itu (yakni bisa memenuhi hajatnya) maka dia boleh
mengambilnya tanpa menyaratkan, amalannya (diniatkan) untuk Alloh
Ta’ala, dan mereka memberinya dengan hati lapang. Inilah pendapat yang
paling dekat”. [Pelajaran kitab: Subulus Salam, tentang hadits dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu: “Sesuatu yang paling berhak kalian ambil upah atasnya adalah Kitabulloh”.]
Demikian juga dengan Syaikh kami Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Hafizhohulloh.
Dalam konteks pengambilan upah yang disyaratkan untuk mengajar, beliau
mengatakan: “Barangsiapa yang tersibukkan dari berusaha karena mengajar,
boleh baginya mengambil upah sebagai imbalan atas letihnya dan
kesibukannya. Yang lebih utama meninggalkan hal itu. Barang siapa yang
tidak tersibukkan dan tidak butuh kepada harta maka dibenci perkara itu
darinya, dan dikhawatirkan terjatuh dalam keharaman”. [Fathul ‘Allam 3/845]
PENGAMBILAN SANTUNAN TANPA ADA PENSYARATAN UPAH OLEH PENGAJAR
Dari
perselisihan pendapat di atas terlihat bahwa larangan pengambilan upah
pengajar Al-Qur’an dan semisalnya adalah pendapat ulama terdahulu dari
kalangan Hanafiyyah dan salah satu pendapat dari mazhab Hanabilah.
Bersamaan dengan itu, kedua kelompok tersebut membolehkan pengambilan
upah apabila pengajar menerimanya tanpa melakukan persyaratan.
At-Tahanawy Al-Hanafy Rahimahulloh mengatakan:
“Adapun jika diberi sesuatu tanpa syarat, maka telah shohih dari ‘Umar
bahwasanya beliau memberi santunan kepada pengajar dari Baitul Mal.
Penduduk Madinah dari zaman Ibnu Sirin mengetahui hak-hak mereka (para
pengajar) di hari-hari ‘ied. Maka kepada kondisi (upah tanpa syarat)
inilah kemungkinan (hadits-hadits yang membolehkan upah) kami bawakan
dalam masalah ini”. [I’laus Sunan 16/171]
Demikian juga dengan jumhur dari Hanabilah, Ibnu Qudamah Rahimahulloh mengatakan:
“Apabila seorang pengajar diberi sesuatu tanpa persyaratan (sebelumnya)
maka yang zhohir dari pendapat Ahmad adalah pembolehannya. Ahmad
mengatakan: “Jangan meminta dan jangan mensyaratkan, apabila dia diberi
sesuatu maka ambillah”. [Al-Mughny 8/140]
Next >> Halaman 8