Zhohirnya wallahu A’lam, “kuda” tersebut seperti mainan anak-anak arab
di zaman kita dimana mereka memakai tulang dan semisalnya, kemudian
meletakkan di atasnya seperti pelana, lalu mereka namakan keledai atau
terkadang mereka menamakannya kuda.
-Sampai perkataan beliau-
Yang menunjukkan bahwa “kuda” ‘Aisyah seperti mainan anak-anak arob dan bukan bentuk tiruan yang hakiki, bahwasanya Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepada ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha, “Apa ini?”. Maka dia menjawab: “Kuda”. Kalaulah itu bentuk tiruan yang hakiki maka tentunya Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam telah tahu dari pertama kali dan tidak perlu menanyai ‘Aisyah. Demikian juga pertanyaan beliau Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang mainan-mainan ‘Aisyah, menunjukkan kalau itu bukanlah tiruan makhluk bernyawa yang hakiki, kalaulah itu hakiki tentulah tidak butuh kepada pertanyaan, wallahu a’lam.
-Sampai perkataan beliau-
Yang menunjukkan bahwa “kuda” ‘Aisyah seperti mainan anak-anak arob dan bukan bentuk tiruan yang hakiki, bahwasanya Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepada ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha, “Apa ini?”. Maka dia menjawab: “Kuda”. Kalaulah itu bentuk tiruan yang hakiki maka tentunya Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam telah tahu dari pertama kali dan tidak perlu menanyai ‘Aisyah. Demikian juga pertanyaan beliau Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang mainan-mainan ‘Aisyah, menunjukkan kalau itu bukanlah tiruan makhluk bernyawa yang hakiki, kalaulah itu hakiki tentulah tidak butuh kepada pertanyaan, wallahu a’lam.
Sisi kedua bahwasanya Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam mengingkari ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha yang memasang tirai bergambar makhluk bernyawa (pada hadits yang lain –pent), berubah warna wajah beliau ketika melihatnya, kemudian beluai mengambilnya dengan tangannya yang mulia dan menyobek tirai itu –telah lewat hadits-hadits tentangnya-. Ini menunjukkan kalau mainan ‘Aisyah bukanlah tiruan makhluk bernyawa yang hakiki, kalaulah itu hakiki tentulah perkara itu lebih utama untuk diingkari daripada gambar yang dua dimensi di tirai. Karena tiruan yang memiliki jasad (tiga dimensi) lebih dekat penyerupaannya dengan hewan-hewan dan lebih menandingi ciptaan Allah Ta’ala daripada gambar dua dimensi, sehingga keharamannya lebih parah dan lebih utama untuk diingkari dibanding gambar dua dimensi”. [I’lamun Nakiir ‘Alal Muftinina bit Tashwir 99 dst].
Penjelasan di atas, sekaligus menjadi penguat bagi pendapat ketiga dibanding pendapat kedua, hal itu dikarenakan kemungkinan pendapat kedua baru bisa berlaku ketika ada dalil yang jelas bahwa boneka ‘Aisyah memang tiruan makhluk bernyawa yang hakiki, sementara tidak ada dalil yang terang tentang itu, bahkan konteks hadits menunjukkan sebaliknya.
Wallahu A’lamu bish showaab
Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy
Ditulis di Solok – Sumatera Barat
27 Muharram 1441