HUKUM PUASA BAGI JAMA’AH HAJI PADA HARI ‘AROFAH
Masalah puasa bagi jema’ah haji di Arofah maka menurut pendapat jumhur larangannya tidak sampai ke derajat haram. Hal
ini dikarenakan keutamaan-keutamaan melakukan puasa ‘Arofah berlaku
umum bagi kaum muslimin baik yang sedang haji maupun tidak. Inilah cara menggabung hadits ‘Uqbah dengan hadits tentang keutamaan puasa ‘Arofah yang telah lewat.
PERSELISIHAN ULAMA TENTANG PUASA DI HARI TASYRIK
Terdapat tiga pendapat di kalangan
ulama, ada yang membolehkan, ada yang mengharamkan tanpa kecuali dan ada
yang mengharamkan dengan pengecualian.
Adapun pendapat yang pertama –yang
membolehkan- maka ini adalah pendapat yang lemah dikarenakan terdapatnya
dalil yang tegas dalam masalah ini. Sementara adanya sekalangan salaf
yang berpendapat demikian, kemungkinannya dikarenakan dalil-dalil
tentang larangan yang tegas tidak sampai kepada mereka. Diantara
dalil-dalil tersebut:
Abu Murroh maula Ummi Hani’ datang pada hari Tasyrik bersama ‘Abdulloh bin ‘Amr menemui bapaknya ‘Amr bin Al-‘Ash Rodhiyallohu ‘Anhum. Maka
beliau menyuguhkan makanan kepada mereka berdua. ‘Abdulloh berkata:
“Sesungguhnya saya sedang berpuasa”. Maka ‘Amr mengatakan: “Makanlah.
Hari-hari ini adalah hari-hari yang dahulu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk ifthor
(makan minum, tidak berpuasa –pent) dan melarang kami untuk berpuasa
padanya”. (HR Abu Daud, dishohihkan Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil Rodhiyallohu ‘Anhu).
Dengan demikian tersisa dua pendapat dan
pendapat ketigalah yang lebih kuat. Hal ini dikarenakan adanya dalil
tentang pengecualian larangan bagi jema’ah haji tamattu’
(berihrom untuk ‘umroh di bulan-bulan haji, setelah selesai kemudian
tinggal di Makkah sampai datangnya waku pelaksanaan haji dengan ihrom
yang baru) yang tidak mendapatkan hadyu (hewan ternak yang dibawa jema’ah haji ke Baitul Haram untuk disembelih).
‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar mengatakan: “Tidak ada diberikan keringanan untuk berpuasa di hari tasyrik kecuali bagi jema’ah haji yang tidak mendapatkan hadyu”. (HR Bukhory)
Kemudian dalil yang menunjukkan pengecualian ini adalah firman Alloh Ta’ala:
فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى
الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْىِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُم
“Barangsiapa yang melakukan tamattu’ dengan ‘umroh sebelum haji maka dia (wajib) menyembelih hadyu yang mudah didapat. Barangsiapa yang tidak mendapatkannya maka dia berpuasa tiga hari di hari-hari haji serta tujuh hari setelah kalian kembali” (QS Al-Baqoroh 196)
Ibnul Qishor Rahimahulloh mengatakan: “Tidak ada perselisihan di kalangan ulama bahwa ayat ini turun pada hari Tarwiyah,
yaitu tanggal delapan Dzulhijjah. Maka diketahui bahwa boleh bagi
mereka untuk puasa pada hari-hari tersebut (hari-hari tasyrik) karena
yang tersisa dari sepuluh hari pertama dzulhijjah hanya tanggal delapan
dan sembilan. Sementara tanggal delapan –hari dimana turun ayat- tidak
sah puasa ketika itu karena orang yang tidak punya hady (ketika
ayat itu turun –pent) harus berniat puasa sejak malamnya. Adapun
tanggal sepuluh maka itu adalah hari An-Nahr (Iedul Adha) tidak boleh
puasa padanya menurut ijma’. Sehingga diketahui bahwasanya mereka berpuasa setelah hari itu [Syarh Shohih Al-Bukhory karya Ibnu Bathtol 4/138]
Di tanggal delapan atau sembilan tersebut masih ada kesempatan bagi orang tersebut untuk mencari hadyu (jika dia memiliki uang untuk itu) karena kewajiban penyembelihan hadyu
adalah pada ‘Iedul Adha. Apabila pada penghujung tanggal sembilan dia
tidak bisa mendapatnya maka hanya tersisa kemungkinan hari tasyrik untuk
puasa yang tiga hari tersebut. [Lihat: Syarh Shohih Al-Bukhory karya Ibnu Bathtol 4/137-138, Fathul ‘Allam karya Syaikh Muhammad Hizam 719-720]
wallohu a’lamu bish showwab
ditulis: Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy -Saddadahulloh-
Darul Hadits Dammaj, Yaman -Harosahulloh-
Darul Hadits Dammaj, Yaman -Harosahulloh-
سبحنك وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
[1] Hadits Shohih sesuai syarat Imam Muslim
[2] Makna Tasyrik adalah pemotong-motongan daging.
[3] Derajatnya hasan
[4] Hadits shohih. Dishohihkan para ulama terdahulu maupun belakangan seperti Ibnu Hajar, Al-Albany, Muhammad Hizam dll
[5] Sanadnya Shohih
[6]
Hadits shohih sesuai dengan syarat Imam Muslim. Dishohihkan para ulama
terdahulu maupun belakangan seperti Al-Hakim, Adz-Dzahabi, Al-Albany dll
[7]
Sengaja kita tidak memulai dengan penyebutan rincian perselisihan yang
panjang dalam masalah puasa di hari tasyrik untuk menyingkat pembahasan.
Insyalloh sebagian poin-poin perselisihan yang penting akan
lewat penyebutannya, dan rasanya penjelasan yang diberikan dapat
menjawab pendapat-pendapat yang menyelesihinya Wallohu a’lam bish showab.
<<< Prev Halaman 4