Satu lagi: seseorang mesti memperhatikan penggunaan istilah yang
berbeda di kalangan ulama seperti istilah hasan yang dipakai oleh Imam
Tirmidzi, kalau diteliti, ternyata istilah beliau tidaklah sebagaimana
yang digunakan mayoritas ulama.Beliau mengatakan dalam sunannya: “Apa-apa yang kami sebutkan dalam
kitab ini dengan hadits hasan, yang kami maksudkan dengan hasan di sisi
hanyalah: Setiap hadits yang diriwayatkan, pada sanadnya tidak terdapat
seseorang yang muttaham bilkadzib (dalam istilah muhadditsin maknanya
orang yang diketahui berdusta pada selain hadits nabi), dan bukan pula
haditsnya syadz, serta hadits tersebut diriwayatkan tidak dari satu sisi
saja, demikianlah yang kami katakan hadits hasan di sisi kami”. Maka
dengan pernyataannya ini, tidak bisa dinukilkan dari Tirmidzi hadits
hasan sebagaimana istilah yang umum. [Taqyiid wal Iidhoh syarhu
Muqoddimati Ibnish Shallah 45 karya Imam Al-‘Iroqy Rahimahullah]
Demikian juga bagi seorang pencari kebenaran tidak mencukupkan diri dari pembahasan ‘Ilal (kecacatan tersembunyi) yang disampaikan oleh imam terdahulu.Terkadang orang-orang sekarang tertipu dengan zhohir isnad, sementara ulama-ulama hadits terdahulu telah mendapatkan ‘illah padanya. Orang-orang belakangan tidak ada apa-apanya dibandingkan orang-orang terdahulu seperti Imam Bukhory, Imam Ahmad, Muslim bin Hajjaj, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Yahya bin Ma’in, ‘Abdurrohman bin Mahdi Syufyan Ats-Tsauri dan Sufyan bin Al-‘Uyainah, Imam Nasa’iy, Imam Abu Daud, Imam At-Tirmidzi. [Ghoratul Asyrithoh 1/185 karya Imam Al-Wadi’iy Rahimahullah]
Mereka -para ulama terdahulu- adalah para huffazh, mereka menghapal riwayat guru-guru dan murid-murid seorang periwayat. Bahkan bukan satu riwayat isnad saja, melainkan mereka menghapal berapa yang diriwayatkan gurunya dan berapa yang diriwayatkan muridnya. Sehingga jika ada penambahan dari salah seorang diantara (murid-murid) seorang periwayat, mereka mengenal kalau tambahan itu bukan hadits milik si periwayat. [Al-Muqtaroh 181-182 karya Imam Al-Wadi’iy Rahimahullah]
Imam Ahmad berkata: “Dahulu saya dan ‘Ali bin Al-Madiniy berdiskusi tentang orang yang paling kokoh dalam periwayatan dari Az-Zuhriy. Maka ‘Ali berkata: “Sufyan bin Al-‘Uyainah”. Aku berkata: “Malik bin Anas, dialah yang paling sedikit kesalahannya dalam periwayatan dari Az-Zuhri. Sementara Ibnu ‘Uyainah melakukan kesalahan pada sekitar dua puluh hadits yang diriwayatkan dari Az-Zuhri yaitu pada hadits ini … itu …”, aku sebutkan sampai delapan belas hadits. Lalu aku katakan: “Sekarang sebutkan berapa kesalahan Malik”, maka dia menyebutkan dua … tiga hadits. Kemudian aku kembali dan meneliti kesalahan Ibnu ‘Uyainah ternyata lebih dua puluh hadits. [‘Ilal wa Ma’rifatir Rijal 2/349 karya Imam Ahmad Rahimahullah]
Karena itu sangat disarankan bagi kaum muslimin dalam menghadapi sebuah permasalahan untuk melihat penjelasan para ulama hadits tentang riwayat tersebut karena bisa saja ada yang menshohihkan dan mendho’ifkan. Bagi yang telah mengetahui adanya kecacatan sebuah hadits yang diterangkan oleh pakarnya namun dia tetap bersikeras dengan pendapat ulama yang dipercayanya, maka yang seperti ini telah terseret ke taqlid tanpa disadarinya, wallahu a’lam.
Namun bukan berarti penghukuman hadits khusus bagi mereka, karena: Tidak ada dalil yang tidak membolehkan orang sekarang untuk menshohihkan atau mendho’ifkan. Namun orang sekarang sebatas peneliti (dari kitab dan perkataan-perkataan para Imam terdahulu) sementara para ulama-ulama hadits terdahulu mereka, memiliki kecermatan tentang matan (lafazh hadits), isnad, apa-apa yang menyelisihi tarikh . Maka boleh bagi seseorang untuk menghukumi hadits apabila orang tersebut telah memenuhi syarat untuk menghukumi hadits, dan dia bukan termasuk pengikut hawa nafsu, -menshohihkan dan mendho’ifkan sesuai keinginannya- seperti Muhammad ‘Abduh Al-Mishry, Jamaluddin Al-Afghony, Muhammad Rosyid Ridho, Muhammad Ghozali. Maka waspadalah kalian dari ahlul ahwa’ baik yang terdahulu maupun sekarang [Ghoratul Asyrithoh 1/186-187 karya Imam Al-Wadi’iy Rahimahullah, dengan perubahan]
Next >> Halaman 8