Karena
itulah Al-‘Allamah Ibnu Abin ‘Izz Al-Hanafy dalam “Syarhu Thohawiyah”
(1/463) mengatakan: “Tidak diragukan bahwasanya barangsiapa yang tidak
tunduk sepenuhnya kepada Rosululloh, kurang tauhidnya, orang tersebut
telah berkata dengan pendapatnya semata dan hawa nafsunya. Atau
(demikian juga) orang yang mengekor kepada seorang pemilik pendapat atau
hawa nafsu tanpa ada petunjuk dari Alloh, maka tauhidnya berkurang
sesuai kadar keluarnya dia dari apa yang dibawa oleh Rosululloh, karena
dengan (perbuatannya) itu dia telah mengambil ilah (sembahan) selain
Alloh”. Selesai
Beliau juga mengatakan (1/477): “Setiap yang berkata dengan pendapat, selera dan strateginya –sementara ada dalil dalam masalah tersebut- atau menentang dalil dengan akalnya, maka dia telah menyamai Iblis dari sisi tidak menerima perintah Robbnya”. Selesai
Beliau juga mengatakan (1/446): “Maka wajib taat sepenuhnya pada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, patuh dengan perintahnya, menghadapi khabar yang disampaikannya dengan penuh penerimaan dan pembenaran, tanpa menentangnya dengan khayalan batil yang dinamakan dengan logika, tanpa merancukan dan membuat keraguan padanya, atau mendahulukan pendapat-pendapat orang lain serta sampah pemikiran mereka dari pada perkataan beliau. Maka wajib mengesakan beliau dalam masalah hukum, penerimaan,, ketaatan dan kepatuhan, sebagaimana wajibnya mengesakan Yang Mengutus beliau apa peribadahan, ketundukan, kehinaan, berseah diri, tawakkal. Maka tauhid ada dua, tidak ada keselamatan bagi seorang hamba dari azab Alloh kecuali dengan keduanya. Tauhid (Alloh) Yang Mengutusnya, dan tauhid dalam pengikutan Rosululloh. Tidak boleh mengambil hukum kepada selainnya, tidak boleh ridho dengan hukum selainnya, Tidak boleh tertahan dalam menunaikan perintah beliau dan membenarkan khabar beliau gara-gara perkataan syaikh, Imam, pemimpin madzhab atau kelompoknya atau orang yang dimuliakannya. Yang apabila mereka mengizinkan barulah perintah rosululloh dan khobar beliau diterima, kalau tidak maka cari selamat dengan menyerahkan perkara bulat-bulat kepada mereka dan berpaling dari perintah dan khobar beliau, kalau tidak demikian maka perintah dan khobar beliau diselewengkan dari maknanya“. Selesai
Al-Allamah ‘Abdurrohman bin Hasan Alusy-Syaikh di “Fathul Majid” (hal 460 cet. Darul Mu’ayyid) mengatakan: “Mereka mengatakan –yakni para pengekor-: “Orang yang aku ikuti lebih berilmu darimu tentang hadits, masalah nasikh dan mansukh …” dan sebagainya dari omongan yang ujung-ujungnya adalah meninggalkan pengikutan terhadap Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam -yang tidak berbicara dengan hawa nafsu- kemudian bersandar kepada orang yang mungkin melakukan kesalahan dan sebagainya dari kalangan para imam yang perkataan mereka bisa diselisihi dan ditentang dengan dalil. Tak ada seorangpun imam kecuali dia hanya memiliki sebagian ilmu tidak seluruhnya”. Selesai
Saya katakan (Sa’id Da’as): Betapa samanya malam ini dengan malam sebelumnya. Apa yang kita dengar silih berganti dari para da’i yang menyeru kepada taqlid buta, yang berbuat kekanak-kanakan dalam ilmu sementara mereka bukanlah ahlinya, dimana mereka membenturkan dalil-dalil ke tembok, bergantung dengan penyandaran buta secara mutlak kepada orang-orang yang mungkin salah, atau tidak berilmu dalam masalah tersebut, mereka berhujjah dengan hujjah jahiliyyah: “Saya bersama orang yang paling berilmu …”, “Wajib bagi kalian berpegangan dengan kibar ulama …” “Ulama Fulan lebih tahu, memiliki pandangan, pengetahuan dan pemahaman …”, dan sebagainya dari ibarat orang-orang bodoh yang lancang terhadap hukum-hukum syari’at, mengikuti hawa nafsu dan kebodohan mereka.
Halaman 11