-->
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ

Sadarkah Anda Bahwa: Sesungguhnya Taqlid Bisa Mengikis Tauhid?

Para imam sunnah dan ilmu telah melarang manhaj (metode) rusak ini, yang menyelisihi apa yang telah Alloh perintahkan berupa pemurnian pengikutan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, serta meneliti kebenaran, sebagaimana Alloh berfirman:

أَفَمَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ أَمَّنْ لَا يَهِدِّي إِلَّا أَنْ يُهْدَى فَمَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُون

“Apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS Yunus 53)

Musibahnya semakin dahstyat ketika orang yang menganggap dirinya termasuk barisan ulama dan da’i tauhid –baik pengakuan itu dengan lisan maupun dengan gayanya- sebagaimana halnya Muhammad bin ‘Abdillah yang dijuluki dengan Al-Imam, serta selainnya dari orang-orang bodoh yang memakai pakaian ulama kritikus, mempertahankan manhaj salafy, sementara mereka mendengus dengan kebodohan-kebodohan ini mulai dari pokok manhaj salaf.
Syaikhul Islam sebagaimana di “Al-Fatawa” (2/93) mengatakan: “Apabila dia mengekori seseorang tidak yang lainnya dengan semata-mata hawa nafsu, dia menolong orang tersebut dengan tangan dan lisannya tanpa dia mengetahui apakah kebenaran bersama orang yang diikutinya tersebut, maka orang ini termasuk orang-orang jahiliyyah. Apabila orang yang diikuti benar maka amalannya bukanlah amalan yang sholih, apabila yang diikuti salah, maka dia berdosa”. Selesai

Syaikhul Islam sebagaimana di “Al-Fatawa” (35/367) –dalam konteks penyebutan uzur bagi ahli ijtihad- mengatakan: “Akan tetapi jika diketahui bahwa kebenaran menyelisihi pendapatnya, tidak boleh baginya meninggalkan kebenaran yang dengannya Alloh mengutus Rosul-Nya, dikarenakan perkatan salah seorang dari makhluk. Begitulah syari’at yang diturunkan dari sisi Alloh, yaitu al-Kitab dan as-sunnah, itulah agama Alloh, agar agamanya menjadi yang tertinggi dan jadilah agama ini semata-mata bagi Alloh. Janganlah mereka bersungguh-sungguh di atas perkataan seorang ulama, seorang syaikh, tidak juga seorang ahli ta’wil, namun bersungguh-sungguhlah mereka untuk mengibadahi Alloh saya dan menjadikan agama ini hanya baginya”. Selesai

Al-Alusy di “Ruhul Ma’any” (6/123) mengatakan: “Kebenaran lebih berhak untuk diikuti. Maka kapan kebenaran itu tampak, wajib bagi seorang muslim untuk mengikutinya walaupun ijtihad orang yang diikutinya menyatakan itu salah”. Selesai

 Al-‘Allamah ‘Abdurrohman bin Hasan Alusy Syaikh di “Fathul Majid” (hal 461) mengatakan: “Wajib bagi orang yang menasehati dirinya sendiri, apabila dia membaca dan melihat kitab-kitab ulama serta mengatahui pendapat mereka, untuk membandingkannya dengan apa yang ada di al-Kitab dan as-Sunnah. Karena setiap ahli ijtihad dari kalangan ulama serta orang-orang yang mengikutinya dan menasabkan diri kepada mazhabnya, wajib menyebutkan dalil atas pendapatnya. Yang benar dalam sebuah masalah hanyalah satu (pendapat). Para imam mendapatkan pahala atas ijtihad mereka.

Orang yang berpikiran objektif menjadikan perhatian dan pengkajian atas pendapat-pendapat mereka sebagai jalan untuk mengenal dan menggambarkan permasalahan-permasalahan, serta membedakan yang benar dari yang salah dengan dalil-dalil yang disebutkan oleh mereka. Dengannya dia bisa mengetahui siapa yang paling selamat dengan dalil dari kalangan ulama, maka dia mengikutinya”. Selesai
Halaman 12