-->
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ

Mengenal Pendapat Ulama Seputar Santunan Bagi Pengajar Agama

Atsar Abu Qilabah (tabi’i) Rahimahulloh adalah sebagaimana yang disebutkan Kholid Al-Hadzdza’ Rahimahulloh. Beliau mengatakan:
 
سألت أبا قلابة عن المعلم يعلم، ويأخذ أجرا، فلم ير به بأسا

”Aku menanyai Abu Qilabah tentang pengajar yang mengajar, kemudian mengambil upah, maka beliau berpandangan hal itu tidak mengapa”. (Atsar Shohih diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah)
Mengenai pendapat Malikiyyah, Ibnu ‘Abdil Bar Rahimahulloh mengatakan: “Tidak mengapa dengan upah bagi orang yang mengajari adab dan mengajari membaca Al-Qur’an ketika sudah diketahui setiap bulannya kadar upah yang diambil salah seorang dari mereka (pengajar) berdasarkan kadar kesungguhannya. Malik membolehkan upah bagi orang-orang yang mahir atas pembacaaan juz dari Al-Qur’an sebagaimana dia membolehkan meminta upah untuk mengajarkannya, bulanan atau tahunan. [Al-Kafiy fi Fiqhi Ahlil Madinah 2/755]
 
Imam An-Nawawy Asy-Syafi’i Rahimahulloh mengatakan: “Tidak boleh mengupah seorang muslim untuk jihad dan tidak juga untuk ibadah-ibadah yang menyaratkan adanya niat (untuk mendapat pahala) kecuali haji dan pembagian zakat. Sah upah untuk mengurus mayyit dan menguburkannya, serta mengajarkan Al-Qur’an”. [Minhajut Tholibin wa ‘Umdatul Muftin fil Fiqh 161]
Pendapat ini juga yang dipilih Ibnu Hazm Rahimahulloh dari kalangan mazhab Zhohiriyyah, beliau mengatakan: “Pengupahan adalah perkara yang dibolehkan dalam pengajaran Al-Qur’an”. [Al-Muhalla 8/193]

Pendapat ini juga yang dipilih Syaikh As-Sa’dy, Syaikh Al-‘Utsaimin, Syaikh Ibnu Bazz, Syaikh ‘Abdulloh bin Gudayyan, Syaikh ‘Abdulloh bin Qu’ud, Syaikh ‘Abdurozzaq ‘Afifi, Syaikh ‘Abdulloh bin Mani’, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Sholih Al-Fauzan, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh Ghofaarohumulloh. [Syarhul Mumti’ 10/9-10, Taudhihul Ahkam 5/95, Fatawa Al-Lajnatud Da-imah Gel 1 jilid 4/130, 9/40, 9/73, 12/272 dan di banyak tempat, termasuk Fatawa Al-Lajnatud Da-imah Gel 2]
[Pendapat Ketiga, Boleh Bagi Yang Membutuhkan]
 
Pendapat ini dinukilkan dari sebagian ulama mazhab Hanabilah. [Lihat: Majmu’ul Fatawa 30/193, Al-Furu’ 7/152, Hasyiah Ibni Qosim ‘Alar Roudhi Murbi’ 5/320]
Pendapat ini mereka pilih sebagai bentuk penggabungan antara dalil-dalil yang mengisyaratkan larangan dan dalil-dalil yang mengisyaratkan pembolehan. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullohu, beliau mengatakan: “Maka bagaimanapun juga, kondisi orang yang membutuhkan bukanlah seperti kondisi orang yang tidak butuh, sebagaimana dikatakan para salaf: “Usaha yang ada sebagian kerendahan lebih baik dari pada meminta-minta kepada manusia”. Karena itu para ulama berselisih dalam masalah mengambil upah untuk mengajar Al-Quran dan semisalnya.
 
Dalam mazhab Ahmad dan selainnya terdapat tiga pendapat. Yang paling adil adalah: Diperbolehkan bagi yang membutuhkan. Ahmad mengatakan: “Upah mengajar lebih baik daripada hadiah dari penguasa dan hadiah dari penguasa lebih baik dari pemberian saudara”.
Pokok-pokok syari’at seluruhnya dibangun di atas landasan ini yaitu dibedakannya larangan-larangan antara orang yang membutuhkan dengan selainnya sebagaimana hal ini berlaku dalam masalah perintah-perintah. Karena itu diperbolehkan perkara-perkara haram ketika dhoruroh, terlebih lagi jika dia meninggalkan hal itu, dia mesti beralih kepada meminta-minta kepada manusia. Meminta-minta lebih parah keharamannya.
 
-Sampai perkataan beliau- Karena itu para ulama sepakat bahwa seorang hakim dan semisalnya diberikan santunan ketika dia membutuhkan, dan para ulama berselisih apabila tidak ada kebutuhan. Landasan perkara ini ada di kitabulloh, yaitu pada firman-Nya dalam masalah harta anak yatim:
 
وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوف

“Barang siapa yang berkecukupan, maka hendaklah dia menahan diri. Sementara barangsiapa yang membutuhkan, maka boleh baginya memakan harta itu menurut yang patut”. (QS An-Nisa’ 6)

Next >>                                                       Halaman 7