-->
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ

Sadarkah Anda Bahwa: Sesungguhnya Taqlid Bisa Mengikis Tauhid?

MEMASRAHKAN PENGETAHUAN KEBENARAN PADA ULAMA TERTENTU SERTA MENINGGALKAN AL-HAQ KARENA PENDAPATNYA ADALAH PEMPOSISIANNYA PADA KEDUDUKAN NABI SHOLLALLOHU ‘ALAIHI WA SALLAM DARI SISI KERASULAN DAN PENJAGAAN DARI KEKELIRUAN DALAM SYARI’AT

Berpegang, mengikuti dan meneladani suatu pendapat secara mutlak dari selain Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, serta memasrahkan pengetahuan kebenaran kepada selain beliau, atau meninggalkan sesuatu yang telah tampak kebenaran dan kecocokannya dengan al-haq karena semata-mata pendapat –walaupun yang berpendapat adalah ulama- merupakan sikap pemposisian ulama tersebut pada posisi Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam dalam hak pengikutan, dan berpegang teguh dengan perkataan, perbuatan dan penetapan beliau secara mutlak.

Seorang yang berilmu, memiliki jiwa penasehat, pengikut agama Alloh secara murni tidak akan mendakwahkan hal ini (mengikuti orang tertentu), dia tidak akan berpendapat dengannya, tidak akan ridho jika yang diikuti itu adalah dirinya ataupun selainnya. Karena perbuatan tersebut adalah perbuatan orang-orang bodoh yang tak mau menolong dakwa dan berbuat kekanak-kanakan.
Selain beliau Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah terlepas dari ketidaktahuan tentang hukum Alloh atau kurangnya pengetahuan dalam beberapa masalah syari’at, tidak terlepas dari kesalahan, ketergelinciran bahkan selama hidupnya dia beresiko terfitnah dalam masalah agamanya. Berapa banya orang yang melakukan amalan penduduk surga namun dia menutup amalannya dengan amalan penduduk neraka, sebagaimana Alloh Subhanah berfirman:

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ * وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُون

“Bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu dan diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir”. (QS Al-A’raf 175-176)

Walau pada asalnya sikap kita adalah berprasangka baik kepada ulama yang berjiwa penasehat, yang dikenal dan masyhur dengan ilmu, sunnah, kebajikan, ketelitian, dan objektivitas, tapi hal tersebut bukan berarti kita mengikuti secara mutlak salah seorang dari mereka dan berpegang teguh dengan pendapatnya, serta meninggalkan al-haq dan kebenaran gara-gara pendapatnya yang tanpa dalil, sebagaimana telah lewat penjelasannya. Bagaimana tidak, seorang ulama yang memiliki pijakan kejujuran dalam agama Alloh, bisa saja memiliki ketergelinciran sebagaimana dikatakan Ibnul Qoyyim, Adz-Dzahabi dan selainnya dari para ulama.
Halaman 9