Maka
atas dasar ini para ulama -yang masyhur dengan ittiba’ (pengikutan
terhadap Nabi semata) dan yang berusaha memilah kebenaran dengan teliti,
jauh dari pengaruh taqlid dan bermadzhab-madzhab- mereka melarang untuk
berpegang teguh secara mutlak dengan pendapat selain Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, serta meninggalkan selain pendapat ulama
(yang diikuti) serta menolaknya walaupun mencocoki al-haq dan kebenaran.
Para ulama menghitung sikap tersebut (Taqlid pada ulama tertentu)
merupakan bentuk kesyirikan (penyekutuan) dalam kerasulan dan ketaatan,
dari sisi pemposisian seorang ulama -dengan sikap orang tersebut- kepada
kedudukan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Sebagaimana dikatakan Al-‘Allamah Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafy di “Al-Ittiba’” (104): “Sesungguhnya aga yang Alloh utus Rosul-Nya dengannya, tidaklah diserahkan kepada salah seorang ulama dan para pengikutnya. Seandainya seperti itu terjadi meka tentulah orang (ulama yang dipanut) itu telah menjadi setara dengan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Sikap ini mirip dengan perkataan kaum Rofidhoh”. Selesai
Beliau juga mengatakan (hal 69): “Pada fithrah yang selamat terdapat pengikutan kebenaran dengan baik, bukan pengikutan ulama tertentu dan meninggalkan yang lainnya, kecuali jika ulama tersebut diklaim sebagai seorang yang terjaga dari kesalahan dalam ijtihad, sementara orang yang lain tidak (terjaga). Orang berakal tidak akan mengklaim perkara yang seperti ini, karena dengannya berarti dia telah memposisikan ulama tersebut ke posisi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam”. Selesai
Oleh karena itu Al-‘Allamah Abu Muhammad ‘Abdul Haqq bin ‘Abdul Wahid Al-Hasyimy Rahimahulloh dalam kitabnya “’Aqidatul Firqotin Najiyah” –dengan resensi dari Imam Ibnu Baz- (hal 6) –dalam konteks mengingkari taqlid- mengatakan: “Dahulu mereka –yaitu penduduk negeri beliau- mencemoohkanku dan mengatakan bahwa aku berada dalam kesesatan dan kebutaan karena aku memfatwakan haramnya dan wajibnya meninggalkan taqlid, maka aku katakan: “Taqlid adalah kesyirikan (penyekutuan) dalam kerasulan”. Dahulu aku katakan kepada mereka: “Barangsiapa yang mengekori seseorang tertentu, tidak meninggalkan pendapatnya walaupun pendapat tersebut menyelisi sunnah, tanpa dalil, maka seolah-olah orang ini telah menjadikan imam tersebut sekutu bagi Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dalam ketaatan”. Selesai
Halaman 10