-->
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ

Islam Dan Hukum Karma

Agama Buddha pada asalnya adalah pecahan Hindu dimana pendirinya Sidharta berasal dari kasta Ksatriya (kasta level 2), dimana dia menyerukan persamaan kedudukan meniadakan pembedaan kasta. Beda agama Buddha dengan Brahmiyyah, bahwasanya Brahmiyyah meyakini semua sesembahan (baik berupa hewan-hewan atau berhala yang merupakan symbol dewa mereka) berkumpul dalam satu tuhan yang mereka sebut dengan Maha Brahma[3] semua perkara yang terjadi mengikut pada takdir dan ketetapannya. Brahmiyyah meyakini pada setiap benda terdapat atma yaitu zat asal dari Maha Brahma, sehingga tujuan kehidupan mereka adalah Moksha (terkadang disebut juga Nirwana) yaitu kembali menyatu dengan tuhan mereka sumber segala ruh (keyakinan Wihdatul Wujud di sisi sufi), sesuai dengan hukum karma dan reinkarnasi.[4] 

Sementara agama Buddha tidak meyakini itu, mereka berpatokan kepada usaha manusia baik ilmu atau amalan, karena itulah banyak orang melihat bahwa filsafat tentang adab, akhlak dan tingkah laku pada agaman Buddha lebih dominan dari perkara ketuhanan[5]. Mereka meyakini bahwa hukum karma bukanlah tuhan melainkan tempat berhukum semua yang ada, baik tuhan-tuhan, manusia ataupun selain mereka.[6] Sementara perjalanan akhir Buddha adalah Nirwana (atau fana’ di kalangan sufi) yaitu kefanaan[7], dimana jiwa sudah terlepas dari segala keinginan dan syahwat sehingga tidak bisa masuk lagi ke siklus reinkarnasi.
Brahmiyyah meyakini pengaturan kasta berdasar nasab, sementara Buddha mengingkarinya dan berpendapat bahwa nasab tidak berpengaruh apa-apa, mereka mengembalikan semuanya kepada usaha dan upaya yang dilakukan oleh manusia, karena itulah untuk menentang keyakinan Brahmiyyah ini, agama Buddha menolak adanya takdir dan ketetapan dari tuhan Brahman. Buddha memiliki juga perincian dalam hukum karma[8], diantaranya:
  • Orang yang senang menyiksa dan membunuh binatang. Maka pada kehidupan selanjutnya dia akan hidup sebagai hewan. Apabila karmanya selesai maka dia (pada kehidupan selanjutnya) akan bangkit sebagai manusia yang  berumur pendek.
  • Pencuri akan dibangkitkan sebagai roh jahat atau hewan, jika karmanya selesai maka dia (pada kehidupan selanjutnya) akan bangkit sebagai manusia yang melarat.
  • Pemabuk akan dibangkitkan sebagai roh jahat atau hewan, jika karmanya selesai maka dia (pada kehidupan selanjutnya) akan bangkit sebagai orang gila.
  • Pezina akan dibangkitkan sebagai roh jahat atau hewan, jika karmanya selesai maka dia (pada kehidupan selanjutnya) akan bangkit sebagai manusia yang terzholimi
  • Adapun orang yang ketika hidup tidak mau mabuk maka dia (pada kehidupan selanjutnya) akan bangkit sebagai manusia yang cerdas, dihormati di kalangan manusia. dsb
Jainiyyah adalah aliran yang muncul sezaman dengan Buddha. Pendirinya juga berasal dari kasta ksatria sezaman dengan Sidharta. Karena itu dalam kitab-kitab suci Buddha banyak dimuat perdebatan antara Sidharta dengan para Rahib Jainiyyah. Adapun karma di sisi Jainiyyah sebagaimana keyakinan agama Buddha, karena Jainiyyah meyakini bahwa berlangsungnya kehidupan ini adalah karena karma yang muncul  sebab keterkaitan antara ruh dan materi. Mereka meyakini bahwa ruh dan materi tidak ada penciptanya, keduanya terdahulu dan ada dengan sendirinya. Ruh-ruh yang bisa selamat dari siklus reinkarnasi, itulah yang menjadi tuhan bagi mereka.
Namun berbeda dengan agama Buddha, Jainiyyah meyakini bahwa seluruh kehidupan manusia saat ini adalah buah dari kehidupan manusia sebelumnya, manusia tidak bisa mengubahnya sedikitpun. Adapun Buddha meyakini bahwa manusia bisa mengubah keadaannya pada kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang[9], sehingga apa yang mereka alami hari ini sebagiannya adalah buah dari perbuatan mereka dalam kehidupan ini dan sebagiannya merupakan buah dari perbuatan mereka di kehidupan sebelumnya.

Next >>                                                 Halaman 2