Adapun
jika pemerah pipi tersebut dilakukan bukan dengan tujuan mengibuli
calon pembeli maka ada dua pendapat dalam mazhab, sekalangan tetap
mengatakan tadlis sementara yang lain mengatakan tidak. [Lihat Al-Inshof
fi Ma’rifatir Rojih Minal Khilaf 4/399 karya Al-Mardawy (wafat 885)]
2. Pembahasan Masalah Pemerah Pipi Di Mazhab Syafi’iyyah.
Disamping pembahasan yang sama dengan yang dibahas di kitab-kitab Hanabilah, pada kebanyakan kitab ulama Syafi’iyyah juga membahas permasalahan ini dari sisi yang terkait dengan hiasan wanita. Pemerah tonjolan pipi yang mereka pakai ketika itu adalah daun pacar.
Secara umum mereka membagi permasalahan ini kepada kedua kondisi:
Pertama, apabila perbuatan tersebut diizinkan suami atau pemilik budak perempuan, karena merekalah yang berhak untuk perkara tersebut.
Kedua, apabila perbuatan tersebut tidak diizinkan suami atau pemilik budak perempuan.
Dalam kedua kondisi ini para ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan ada yang melarang.
Alasan pelarangan ada dua: Hak suami ataupun tuan akan hiasan seorang wanita dan alasan pengubahan ciptaan Alloh.
Alasan pertama adalah cabang dari alasan pelarangan bahwa perkara tersebut adalah pengubahan ciptaan Alloh. Bagi yang berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah pengubahan ciptaan Alloh, mereka berbeda pendapat mengenai perlu tidaknya izin untuk itu. Mayoritas ulama Syafi’iyyah tidak menganggap bahwa pemerahan pipi tergolong pengubahan ciptaan Alloh.
Karena itulah perselisihan mereka pada kondisi pertama sangat lemah bahkan bisa dikatakan terabaikan.
Imam Abul Ma’aly Al-Juwainy Rahimahulloh (wafat 478) mengatakan: Sangat jauh kemungkinan adanya perselisihan dalam pemerahan wajah dengan izin suami, karena tidak adanya khabar (dalil yang melarang pemerahan pipi). Wajah bisa saja memerah karena faktor tertentu, seperti marah, gembira, lelah ataupun cepat dalam berjalan. [Nihayatul Mathlab fi Diroyatil Mazhab 2/319]
Bahkan Ar-Rofi’iy Rahimahulloh (wafat 623) mengatakan perkara tersebut boleh tanpa ada perselisihan. Sementara An-Nawawy menyatakan bahwa pembolehan pemereah pipi jika dilakukan seizin suami atau tuan adalah pendapat mazhab Syafi’i. [Fathul ‘Aziz bi Syarhil Wajiz 4/33, Roudhotul Tholibin 1/276 karya An-Nawawy]
[Lihat juga: Tuhfatul Muhtaj 2/128 karya Ibnu Hajar Al-Haitamy, Fathul Wahhab 1/201 karya Al-Qodhi Zakariya Al-Anshory]
2. Pembahasan Masalah Pemerah Pipi Di Mazhab Syafi’iyyah.
Disamping pembahasan yang sama dengan yang dibahas di kitab-kitab Hanabilah, pada kebanyakan kitab ulama Syafi’iyyah juga membahas permasalahan ini dari sisi yang terkait dengan hiasan wanita. Pemerah tonjolan pipi yang mereka pakai ketika itu adalah daun pacar.
Secara umum mereka membagi permasalahan ini kepada kedua kondisi:
Pertama, apabila perbuatan tersebut diizinkan suami atau pemilik budak perempuan, karena merekalah yang berhak untuk perkara tersebut.
Kedua, apabila perbuatan tersebut tidak diizinkan suami atau pemilik budak perempuan.
Dalam kedua kondisi ini para ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan ada yang melarang.
Alasan pelarangan ada dua: Hak suami ataupun tuan akan hiasan seorang wanita dan alasan pengubahan ciptaan Alloh.
Alasan pertama adalah cabang dari alasan pelarangan bahwa perkara tersebut adalah pengubahan ciptaan Alloh. Bagi yang berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah pengubahan ciptaan Alloh, mereka berbeda pendapat mengenai perlu tidaknya izin untuk itu. Mayoritas ulama Syafi’iyyah tidak menganggap bahwa pemerahan pipi tergolong pengubahan ciptaan Alloh.
Karena itulah perselisihan mereka pada kondisi pertama sangat lemah bahkan bisa dikatakan terabaikan.
Imam Abul Ma’aly Al-Juwainy Rahimahulloh (wafat 478) mengatakan: Sangat jauh kemungkinan adanya perselisihan dalam pemerahan wajah dengan izin suami, karena tidak adanya khabar (dalil yang melarang pemerahan pipi). Wajah bisa saja memerah karena faktor tertentu, seperti marah, gembira, lelah ataupun cepat dalam berjalan. [Nihayatul Mathlab fi Diroyatil Mazhab 2/319]
Bahkan Ar-Rofi’iy Rahimahulloh (wafat 623) mengatakan perkara tersebut boleh tanpa ada perselisihan. Sementara An-Nawawy menyatakan bahwa pembolehan pemereah pipi jika dilakukan seizin suami atau tuan adalah pendapat mazhab Syafi’i. [Fathul ‘Aziz bi Syarhil Wajiz 4/33, Roudhotul Tholibin 1/276 karya An-Nawawy]
[Lihat juga: Tuhfatul Muhtaj 2/128 karya Ibnu Hajar Al-Haitamy, Fathul Wahhab 1/201 karya Al-Qodhi Zakariya Al-Anshory]
Halaman 16