Ironisnya
hal ini juga terjadi di kalangan orang-orang yang mengaku berada dalam
lingkupan dakwah salafiyyah, dakwah ahlus sunnah wal Jama’ah, dakwah
yang mengedepankan perkataan Alloh dan rosul-Nya dari perkataan
siapapun. Dengan bentuk yang seakan-akan benar, mereka mengekori tanpa
meminta dalil (taqlid), berpegang teguh –terutama jika terdapat
perselisihan pendapat- dengan ulama tertentu bahkan ustadz tertentu!!,
tentunya yang cocok dan sesuai dengan perasaan mereka. Bahkan tak jarang
justru mengajak orang kepada pemikirannya dengan selogan: “Syaikh fulan
lebih berpengalaman …”, “Ustadz lebih paham dari kita-kita …”, merasa
cukup tanpa upaya untuk mencari kecocokan pendapat dengan Al-Qur’an dan
sunnah.
Memang peran ulama dalam agama ini adalah peran yang sangat sangat penting, karena mereka adalah pewaris para nabi, mereka yang menyampaikan syariat agama yang mulia ini dan menerangkan kepada manusia. Karena itu Alloh memerintahkan manusia untuk bertanya kepada ulama jika mereka tidak mengetahui sesuatu perkara tentang agama ini. Namun bertanya bukan artinya mengkhususkan ulama yang disuka, bertanya bukan sekedar mengambil jawaban ya dan tidak, tapi dicari alasannya sehingga bisa dicocokkan dengan Al-Qur’an dan sunnah. Dengannya kita bisa tenang beribadah kepada Alloh.
Al-Imam Ash-Shon'any Rohimahulloh dalam “Irsyadun Nuqod” (1/154) mengatakan –terkait firman Alloh Ta’ala-:
فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
"Bertanyalah kalian kepada Ahludz Dzikr, apabila kalian tidak mengetahui" (QS An-Nahl 43)
"Pada ayat ini terdapat perintah untuk bertanya kepada mereka (Ahludz Dzikr) tentang ayat-ayat dan hadits-hadits. Ayat tersebut kepada makna ini lebih dekat. Karena Alloh Ta'ala mengkaitkan ketiadaan ilmu (orang yang bertanya) terhadap Al-Bayyinat dan Az-Zubur. Maka (makna) yang jelas adalah: "Tanyalah mereka tentang Al-Bayyinat dan Az-Zubur yang tidak kalian ketahui. Janganlah kalian bertanya tentang pendapat-pendapat mereka (semata) atau (sekedar) apa yang mereka pilih, yang mengakibatkan ayat ini (malah) bisa dipakai untuk membolehkan taqlid" Selesai penukilan
Memang disitulah kesalahan letak sebagian orang dalam mengamalkan ayat ini mereka menyangka bahwa taqlid yang mereka lakukan adalah penerapan apa yang Alloh perintahkan, padahal tak sama.
Imam Asy-Syinqithy Rohimahulloh, dalam “Adhwa'ul Bayan” mengatakan: "… sesungguhnya ayat ini tidak menunjukkan jenis taqlid buta ini, yaitu mengikuti seluruh perkataan seseorang dan meninggalkan setiap yang selainnya.
Tidak diragukan bahwa yang dimaksud dengan Ahludz Dzikr adalah Ahlul
Wahyu, orang-orang yang mengetahui apa-apa yang berasal dari Alloh,
seperti ulama Al-Kitab dan Sunnah. Mereka (orang yang tidak mengetahui)
diperintahkan untuk bertanya kepada Ahlul Dzikri untuk memfatwakan
mereka dengan konsekwensi Adz-Zikr, yaitu wahyu. Barang siapa yang
bertanya tentang wahyu, lalu orang (yang ditanya) tersebut
memberitahukan dan menjelaskan kepadanya. Maka ilmu yang didapatkan
penanya adalah mengikuti wahyu, bukan taqlid. Tidak ada khilaf dalam
keabsahan mengikuti wahyu …" Selesai penukilan .
Halaman 2