Hindun Ummu Mu'awiyah datang
mengadu kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa suaminya (Abu Sufyan) adalah
seorang selaki yang pelit, tidak memberi nafkah yang cukup. Maka apakah boleh
baginya untuk mengambil hartanya dan izin dan tanpa diketahuinya ?. Maka
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab:
خُذِى مِنْ
مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى
بَنِيكِ
"Ambillah dari hartanya
sepatutnya, apa-apa yang mencukupimu dan anak-anakmu" (HR Bukhory-Muslim
dari 'Aisyah Rodhiyallahu 'Anha)
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullah mengatakan: "Pada hadits ini
terdapat dalil yang menunjukkan bahwa nafkah anak adalah tanggung jawab bapak
yang tersendiri, ibu tidak ikut dalam tanggung jawab nafkah. Dan perkara ini
adalah ijma' (kesepakatan ulama)"
Jika seorang bapak mengharapkan
pahala dalam menafkahi keluarganya, sesungguhnya dia telah mengerjakan amalan
yang sangat besar. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ وَدِينَارٌ فِي الْمَسَاكِينِ وَدِينَارٌ
فِي رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ فِي أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا
أَجْرًا الدِّينَارُ الَّذِي تُنْفِقُهُ عَلَى
أَهْلِكَ
"Dinar yang engkau nafkahkan
di jalan Allah. Dinar yang engkau nafkahkan untuk membebaskan budak. Dinar yang
engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya adalah
dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu" (HR Muslim dari Abu Hurairoh
Rodhiyallahu 'Anhu)
Disamping kewajiban orang tua
terhadap anaknya dalam nafkah jasmani, orang tua pun berkewajiban untuk
memberikan nafkah rohani bagi anak-anaknya. Orang tua haruslah membimbing
anaknya dalam mengenal agamanya dan mengontrol sang anak dalam
amalan-amalannya. Kalau si orang tua memiliki kendala, mungkin karena kurangnya
ilmu, mudah-mudahan bisa ditutupi dengan mencari pengajar yang baik bagi
anaknya, pengajar yang berada di atas pemahaman yang benar, pemahaman salaf
agar anaknya tidak menyimpang. Allah Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
نَارًا
“Wahai
orang-orang yang beriman, lindungilah diri dan keluarga kalian dari api
neraka” (QS At-Tahrim Ayat 6)
Syaikh Nashir As-Sa’dy
Rahimahullah dalam tafsirnya terhadap ayat ini mengatakan: “Anak-anak adalah
barang wasiat di sisi kedua orang tua mereka. Maka apakah mereka akan
menjalankan apa yang diwasiatkan kepada mereka, ataukah mereka akan
menyia-nyiakannya sehingga mereka berhak mendapatkan ancaman dan azab”.
Kelalaian dalam menunaikan
tanggung jawab tersebut bukan perkara yang sepele. Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda:
ما من
عبد يسترعيه الله رعية
فلم يحطها بنصحه إلا
لم يجد رائحة الجنة
"Tidak seorangpun dari
seorang hamba yang Allah minta untuk menjaga yang menjadi tanggung jawabnya
namun dia tidak menjaganya dengan nasehatnya, kecuali (balasannya) dia tidak
mendapatkan bau surga". (HR Bukhory-Muslim dari Ma'qil bin Yasar
Radhiyallahu 'Anhu, lafazh hadits ini di Bukhory)
Maka jadilah orang tua yang baik
bagi anak-anaknya baik dalam dunianya, terlebih dalam akhiratnya. Rasulullah
bersabda:
خيركم خيركم
لأهله
"Sebaik-baik kalian adalah
sebaik-baik seseorang bagi keluarganya" (HR Tirmidzi dari 'Aisyah,
dishohihkan Syaikh Al-Albany)
Al-Munawy Rahimahullah mengatakan: “Yaitu bagi istri-istri, anak-anak dan kerabatnya”. [Faidhul Qodir 3/466]
Al-Munawy Rahimahullah mengatakan: “Yaitu bagi istri-istri, anak-anak dan kerabatnya”. [Faidhul Qodir 3/466]
Next >>
Halaman 3