Al-’Iroqy Rahimahulloh
mengatakan: “Tubban tidak menutup aurat (sholat) seluruhnya, maka tidak mungkin
membatasi pemakaiannya dengan rida’ yang hanya menutup bagian atas badan.
Tubban hanya bisa dipakai bersama qomis ataupun qoba’ …
Karena itu perowi ragu dalam
masalah menggabungkan tubban dan rida’, dan berkata: “Aku menduganya
mengatakan: “… dengan tubban dan rida’”. [Thorhut Tatsrib fi Syarhit Taqriib
2/242]
Ibnu Hajar Rahimahulloh
mengatakan: “Hanya saja Abu Huroiroh tidak memastikan, karena ada kemungkinan
‘Umar kurang perhatian, karena tubban tidak menutup aurat (sholat) seluruhnya.
[Fathul Bary 1/475]
Dari hal ini juga bisa
disimpulkan bahwa tidak ada keraguan dari Abu Hurairoh tentang pemakaian sirwal
tanpa sarung.
CATATAN PENTING!!
Dari kesimpulan di atas dapat
kita ketahui bahwa memakai sarung di atas sirwal hukumnya adalah mustahab tidak
sampai wajib karena ada unsur penyelisihan terhadap ahlul kitab yang sama
sekali tidak pernah memakai sarung, adapun jika memakai sirwal saja maka
hukumnya boleh. Namun ada beberapa perkara yang perlu diingatkan:
Di penjelasan terdahulu, Syaikh
Al-Albany Rahimahullah Ta’ala telah menekankan suatu perkara yaitu: Terjadinya
perluasan penggunaan kata sirwal sehingga merembet ke celana-celana yang menggambarkan
aurat (panthaolun).
Karena itu penting untuk
dicermati apakah sirwal yang ada dalam bayangan kita sebagaimana sirwal yang
ada di zaman salaf? Karena hukum itu mengikuti hakikat sebuah perkara bukan
sekedar mengikuti penamaan.
Bukankan sekarang yang dinamakan
qomis oleh sebagian kita adalah potongan model India sampai ke lutut dengan
belahan di kedua sisinya? Kalau orang sholat dengan qomis –menurut istilah ini-
dengan kombinasi tubban –sebagaimana di atsar ‘Umar di atas- tentulah sholatnya
tidak sah.
Syaikhuna Muhammad bin ‘Ali bin
Hizam Hafizhohulloh mengatakan: “Yang jelas bahwa sirwal yang dimaksud adalah
sirwal yang besar sebagaimana dipakai orang-orang Maroko”.
Syaikh Al-Albany Rahimahulloh
menyebutkan: “Seperti yang dipakai oleh sebagian orang Suria atau Libanon”.
Intinya bahwa sirwal tersebut besar dan longgar sehingga tidak menampakkan
lekuk aurat.
Karena dari pensifatan sirwal
yang disebutkan ulama, mereka menjelaskan bahwa sirwal lebih memadai dalam
menutup aurat dari pada sarung, hal itu karena sirwal memiliki kelebihan untuk
menutup dari arah bawah.
Adapun jika sirwal yang dipakai
menampakkan bentuk pantat maka hal ini jauh dari kemungkinan sirwal yang
dipakai sebagai pakaian luar oleh para salaf dan ini tidak bisa lagi dikatakan
“lebih memadai”, karena kewajiban menjaga aurat mughollazhoh bagi laki-laki
sama hukumnya dengan perempuan. Tidak bisa dikatakan: “Perempuan tidak boleh
menampakkan bentuk itunya, sementara lelaki boleh”. Adapun sekedar tonjolan
tapi tidak membentuk di saat jongkok, ruku’ ataupun sujud sebagaimana kesan
yang sama juga muncul ketika memakai sarung, maka ini adalah perkara yang susah
dihindari.
Syaikh Al-Albany Rahimahulloh
mengatakan: “Kaum muslimin dahulu memakai sirwal yang lapang dan longgar, yang
masih dipakai sebagian orang di Suria dan Libanon …
Pantat lelaki dan pantat
perempuan dari sisi aurat hukum keduanya sama. Maka wajib bagi para pemuda
untuk mencermati musibah ini yang melanda keumuman orang kecuali yang Alloh
kehendaki, dan amat sedikit mereka”. [Kaset pertanyaan Abu Ishaq Al-Huwainy,
Muharram 1407, sebagaimana dinukilkan di Al-Qoulul Mubin 20-21]
Satu lagi, sebagaimana telah
dimaklumi bahwasanya para ulama berselisih pendapat ketika seorang muhrim
memakai sirwal dikala dia tidak memiliki izaar. Apakah dia harus membelah
sirwalnya agar menyerupai izaar atau tidak.