Yaitu
-nasehat secara tersirat- seorang pengajar apabila memiliki sesuatu
yang mencukupi kebutuhannya baik dari hartanya maupun santunan dari
orang lain maka dia tafarrugh untuk ilmu dan mengajar. Sementara
jika dia tak bisa memenuhi kebutuhan atau terlilit utang maka dia
bekerja sekedar menutupi hajatnya tersebut untuk kemudian tafarrugh kembali dalam ilmu dan mengajar.
Demikian juga yang sering diwanti-wanti Syaikh kami Yahya Al-Hajury Hafizhohulloh, beliau
meminta para penuntut ilmu (banyak diantara mereka adalah da’i,
pengajar, dan ulama) yang sudah menikah di Darul Hadits untuk tafarrugh dalam ilmu dan mengajar, dan mencukupkan diri dengan apa yang ada walaupun dengan santunan bulanan yang pas-pasan[2], kecuali jika mereka terlilit hutang maka silahkan mereka berusaha sekadar apa yang bisa menutupinya.
Beliau
merasa heran (dengan nada pengingkaran) dengan sebagian bujangan yang
datang ke Dammaj kemudian bekerja di toko dan kedai, padahal kebutuhan
mereka tidak seperti orang yang telah menikah, dan paling tidak bagi
yang tidak punya uang bisa makan -walaupun sederhana- di ma’had tiga
kali sehari. Bahkan beliau menilainya sebagai bentuk menyia-nyiakan
waktu.
Ibnu Jama’ah Rahimahulloh (meninggal
733) menyebutkan adab seorang alim: “Senantiasa bersemangat untuk
mencari bekal (ilmu) disertai kesungguhan dan usaha keras, tekun dalam
menjalankan fungsi-fungsi dzikir dari ibadah, sibuk dan menyibukkan diri
dengan membaca, menelaah, memikirkan (masalah ilmiah), memberi catatan,
menghapal, menulis, dan melakukan pembahasan. Jangan menyiakan waktu
dari umurnya sedikitpun pada perkara yang menghalanginya dari ilmu dan
amal kecuali sesuai kadar darurat berupa makan, minum, tidur, istirahat
karena karena kejemuan, menunaikan hak-hak istri, berziaroh, mendapatkan
makanan pokok dan hajat lainnya yang dia butuhkan, sakit atau perkara
lainnya yang tak bisa disertai kesibukan (dalam ilmu).
Beliau Rahimahulloh berkata:
Bersamaan dengan itu janganlah dia membebankan dirinya di atas
kemampuannya, agar dia tidak jemu dan bosan, bahkan bisa saja muncul
keengganan yang tidak bisa disusulnya lagi. Namun jadikanlah perkaranya
tersebut dalam posisi sedang, dan setiap orang lebih mengetahui dirinya
sendiri”. [Tadzkirotus Sami’ 62-63]
Ketika melihat dan merenungi bagaimana tafarrughnya
Syaikh Yahya maupun ulama-ulama yang sezaman dengannya atau yang telah
mendahuluinya dalam ilmu dan mengajar, terasa betapa pemalasnya kita …
اللَّهُمَّ أَعِنّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِك
“Ya Alloh, tolonglah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan dalam kebagusan[3] ibadahku kepada-Mu”. (HR. Abu Daud dari Mu’adz Rodhiyallohu ‘Anhu, dishohihkan Syaikh Albany Rahimahulloh).
BERHIAS DENGAN SIFAT QONA’AH (MERASA CUKUP DENGAN APA YANG DIMUDAHKAN BAGINYA)
Qona’ah adalah perkara yang dicintai dari setiap mukmin tak terkhusus bagi seorang da’i. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
قد أفلح من أسلم، ورزق كفافا، وقنعه الله بما آتاه
“Sungguh berjaya orang yang masuk Islam, dikaruniakan rizki yang kafaaf (cukup memenuhi hajatnya, tidak berlebih dan tidak pula kekurangan), serta Alloh menjadikannya qona’ah dengan apa yang diberikan-Nya kepadanya”. (HR Muslim dari ‘Abdulloh bin ‘Amr bin Al-‘Ash)
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga mengatakan:
طوبى لمن هدي إلى الإسلام، وكان عيشه كفافا وقنع
“Thuba[4] bagi orang yang diberi hidayah kepada Islam, serta kehidupannya kafaaf dan qona’ah”. (HR Ahmad, At-Tirmidzi dll dari Fadholah bin ‘Ubaid Rodhiyallohu ‘Anhu, dishohihkan Syaik Al-Albany Rahimahulloh)
Next >> Halaman 12