-->
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ

Mengenal Pendapat Ulama Seputar Santunan Bagi Pengajar Agama


Dengan qona’ah, seseorang akan banyak bersyukur kepada Alloh, mengetahui makna ta’affuf[5] sehingga bisa menghilangkan ketergantungannya kepada orang dan menyandarkan hajatnya sepenuhnya kepada Robb-Nya yang memberikan rezkinya.
Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
 
يا أبا هريرة، كن ورعا تكن أعبد النّاس، وكن قنعا تكن أشكر النّاس، وأحبّ للنّاس ما تحبّ لنفسك تكن مؤمنا، وأحسن جوار من جاورك تكن مسلما، وأقلّ الضّحك، فإنّ كثرة الضّحك تميت القلب

“Wahai Abu Hurairoh, jadilah seorang yang bersifat waro’ maka engkau adalah orang yang paling banyak beribadah kepada Alloh. Jadilah orang yang qona’ah maka engkau adalah orang yang paling banyak bersyukur. Cintailah bagi orang lain apa yang engkau cintai bagi dirimu, maka engkau adalah seorang mukmin. Berbuat baiklah kepada tetanggamu maka engkau adalah seorang muslim. Kurangilah tertawa karena banyak tertawa akan mematikan hati”. (HR Ibnu Majah dll, dishohihkan Syaikh Al-Albany Rohimahullohu Ta’ala)
 
WAHAI PENEGAK AMAR MA’RUF NAHI MUNGKAR MARI TUTUPI KEKURANGAN
Diantara kekhususan yang Alloh karuniakan terhadap umat ini adalah senantiasa ada penegak amar ma’ruf nahi mungkar di sepanjang zaman. Tentunya semua itu harus ditunjang di atas ilmu yang benar dan pasti, karena amar ma’ruf nahi mungkar yang tidak dibangun di atas dasar-dasar ilmu yang kokoh akan berbuah keteledoran, kesimpang-siuran dan bahkan kemaksiatan. Seorang menyangka dirinya di garda terdepan dalam memerangi kebathilan padahal dia hanyalah orang yang kebingungan di garis belakang dengan pangkat pengekor dan pembebek pemahaman orang lain.
Maka apakah pantas penegak amar ma’ruf nahi mungkar ogah-ogahan duduk bersila dan menahan sakit punggungnya untuk duduk di depan pengajarnya?
 
Tanpa ilmu yang kokoh seseorang yang menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar tak akan bisa mewujudkan keagungan ta’affuf dan kesempurnaan waro’.
Al-‘Allamah Ar-Roghib Al-Ashfahany Rahimahulloh (meninggal 502) mengatakan: “Seseorang tidak akan mencapai kesempurnaan ’iffah (menahan perlawanan hawa nafsu) sampai dia memiliki ‘iffah pada tangan, lisan, pendengaran, dan penglihatan.
Diantara tidak adanya ‘iffah pada lisan adalah mengolok-olok, mengorek-ngorek aib, ghibah (menggunjing), mencaci, mengadu domba, mengejek-ejek dengan julukan-julukan.
Diantara tidak adanya ‘iffah pada mata adalah melihat kepada keharaman-keharaman dan perhiasan kehidupan dunia yang terlahir dari syahwat rendahan.
 
Diantara tidak adanya ‘iffah pada pendengaran adalah mendengarkan suara-suara yang tercela.
Tiangnya ‘iffah seluruh anggota badan adalah: pemiliknya tidak membebaskannya dalam perkara dari perkara-perkara yang khusus baginya, kecuali pada perkara-perkara yang dibolehkan akan dan syari’at bukannya yang dibolehkan syahwat dan nafsu.
 
Ketahuilah bahwa seseorang orang yang berbuat ta’affuf (berusaha bersikap ‘iffah), tidaklah dikatakan sebagai orang yang memiliki ‘iffah kecuali dengan syarat-syaratnya yaitu: Ta’affufnya dari sesuatu bukan karena menunggu sesuatu yang lebih banyak, atau juga bukan karena dia tidak sesuai dengannya, bukan juga karena kekakuan syahwatnya, perasaan takut akan dampaknya, tidak juga karena dia terhalang dari mengambilnya, atau dia tidak tahu dengan perkara yang ditinggalkannya itu karena kurang ilmu, karena semua ini bukanlah ‘iffah melainkan perburuan, pengobatan, sakit, jalan tembus, kelemahan ataupun kebodohan”. [Adz-Dzarii’ah Ila Makarimisy Syari’ah 224-225]

Next >>                                                     Halaman 13