-->
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ

Mengenal Riba Lebih Dekat

PEMBAHASAN KEDUA: RIBA DALAM TRANSAKSI UTANG PIUTANG

Sebelum masuk ke masalah ini, ada beberapa istilah yang perlu kita pahami terlebih dahulu karena terkadang dua perkara berbeda dalam hukum syari’at, namun dalam kebiasaan kita sering diungkapkan dengan ibarat yang sama.
Yang pertama: i’aaroh. Yaitu peminjaman suatu barang, namun barang yang dikembalikan adalah barang yang dipinjam, barang pinjaman tidak menjadi hak milik peminjam. Seperti minjam sepeda motor, maka yang dikembalikan mesti sepeda motor yang dipinjam tidak boleh yang lain walau jenisnya sama.
Bentuk i’aaroh ini, jika si pemilik barang ingin meminta manfaat dari pinjamannya, maka bentuk akadnya menjadi ijaaroh (sewa menyewa).
Yang kedua qordh. Yaitu peminjaman suatu barang, namun tidak harus barang yang kelak dikembalikan peminjam tidak mesti barang yang diambil ketika meminjam karena status barang yang dipinjam telah menjadi hak milik peminjam, dia berhak menggunakan sesuka hatinya, boleh menjual atau menghadiahkan kepada orang lain. Posisi peminjam adalah pengutang.
Jadi kebiasaan kita meminjam uang masuk ke jenis qordh. Karena uang yang kita bayarkan -walau nilainya sama- nomor serinya sudah berbeda. Jenis kedua inilah yang kita singgung dalam masalah riba.
BENTUK RIBA DALAM UTANG PIUTANG
Barang-barang yang terkena riba dalam bentuk ini, tidak terbatas pada barang-barang yang terkena riba dalam bentuk jual beli. Akan tetapi riba dalam utang piutang juga berlaku pada barang barang yang lain.
[Bentuk Pertama]
Pada waktu tempo pelunasan, si peminjam tidak memiliki cukup uang untuk melunasi. Akhirnya disepakati bahwa tempo pembayaran ditunda dengan adanya tambahan bagi pihak pemilik uang. Entah itu dinamakan hadiah, sedekah, bonus, ganti-rugi dll. Ini adalah riba dalam utang piutang orang jahiliyyah.[Az-Zawajir -Ibnu Hajar 1/431, Ahkaamul Qur’an -Al-Jashshoos 1/635]
[Bentuk Kedua]
Tambahan bonus (kelebihan) disyaratkan ketika terjadi transaksi. Pensyaratan ini bisa jadi dari pihak pemilik uang atau dari pihak peminjam. Bonus tersebut bisa berupa harta (misalkan: seseorang meminjamkan seratus juta biar diganti dengan seratus sepuluh juta), atau bisa juga bonus itu berupa transaksi yang lain (misalkan: seseorang meminjamkan seratus juta dengan syarat si peminjam mau meminjamkan rumahnya, atau menyewakannya, atau menjual), atau dengan syarat balas jasa(misalnya: pemilik uang mengatakan: “Nanti kalau aku terdesak, kamu mesti meminjamkan aku uang”.). Ini juga bentuk riba dalam utang piutang orang jahiliyyah. [Jaami’il Bayan - Ath-Thonary 4/90, Al-Jaami’ Li Ahkaamil Qur’an -Al Qurthuby 3/226]
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ

“Tidak dihalalkan pinjaman disertai pembelian”. (HR Ahmad, Abu Daud dll, dari ‘Abdulloh bin ‘AmrRodhiyallohu ‘Anhu, sanadnya dihasankan Syaikh Al-Albany, lihat juga Tahqiq Musnad Imam Ahmad)
Imam Malik Rahimahulloh mengatakan: “Penafsiran hadits tersebut bahwasanya seorang lelaki berkata kepada lelaki lain, aku beli barang daganganmu dengan harga sekian dan sekian, dengan syarat engkau meminjamkanku sekian dan sekian”. [Al-Istidzkaar 6/432]
Mengambil manfaat berupa transaksi yang lain saja tidak diperbolehkan, maka bagaimana jika kelebihan yang disyaratkan dalam bentuk harta ???
Para ulama muslimin juga telah ijma’ (sepakat) bahwa adanya syarat manfaat dari pinjaman (yakni qordh) adalah riba. [Al-Istidzkar - Ibnu ‘Abdil Barr 6/514, Al-Ijmaa’ - Ibnu Mundzir 120-121, Al-Muhalla - Ibnu Hazm 8/77, Majmu’ul Fatawa 29/334, Al-Mughny - Ibnu Qudamah 6/436]
Ke dalam jenis inilah masuknya riba pada penyimpanan di bank. Karena posisi nasabah adalah pemberi qordh.

Next >>                                                    Halaman 5