-->
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ

HUKUM SEPUTAR BONEKA

Dengan adanya hadits-hadits ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama:

* Pendapat pertama: Hadits-hadits ini menjadi pengkhusus akan bolehnya gambar atau mainan makhluk bernyawa yang diperuntukkan bagi anak perempuan. Ini adalah pendapat Al-Qodhi ‘Iyadh, Al-Khoththoby, Al-‘Ainy, Al-Qurthuby dll.

* Pendapat kedua: Hadits-hadits ini terjadi sebelum turunnya larangan gambar. Adapun setelah turun larangan gambar maka dihapus hukum akan bolehnya. Ini adalah pendapat Ibnu Baththol, Ibnul Jauzy, Al-Mundziry dll.

* Pendapat ketiga: Larangan tentang gambar tetap berlaku. Boneka pada hadits tersebut adalah boneka yang tak berbentuk binatang bernyawa (misalnya tidak memiliki sesuatu seperti kepala atau memang tidak berkepala sama sekali). Faidah yang diambil faidah di hadits itu hanyalah tentang bolehnya bermain dengan boneka. Ini adalah pendapat Al-Mawardy, Ibnu Muflih, As-Safariny, dan ini yang zhohir dari pendapat Imam Ahmad dll.

[Lihat Fathul Bary bab Al-Inbisath ilan Naas, ‘Umdatul Qori’, Al-Jami’ li Akamil Qur’an, Al-Ahkamul Sulthoniyyah, Adabusy Syar’iyyah, Ghidzaul Albab]

Pendapat kedua dan ketiga, kesimpulan akhirnya sama bahwa boneka dengan bentuk makhluk bernyawa hukumnya sama dengan hukum tiruan makhluk bernyawa yang lain.

Adapun masalah pengkhususan sebagaimana yang dikemukakan oleh pemilik pendapat pertama maka dituntut kepada mereka untuk mendatangkan dalil bahwa boneka ‘Aisyah benar-benar makhluk bernyawa, karena pernyataan ini tidak didapatkan dalam konteks hadits. Justru –pada kenyataannya- bisa dipahami sebaliknya. Karena dimaklumi bahwasanya anak-anak memiliki imajinasi tinggi untuk mewujudkan apa yang ada dalam bayangannya ke dalam mainannya, walaupun tidak ada kemiripan antara apa yang ada dalam bayangan mereka dan mainannya. Tidakkah kita melihat ketika mereka menekuk bagian depan pelepah pisah yang dibayangkan sebagai leher kuda, mereka sudah simpang siur menunggangi “kuda”nya kesana kemari?

Sekitar enam puluh tahun lalu (22/5/1373 H), Syaikh Muhammad bin ‘Ibrohim bin ‘Abdil Lathif Rahimahullah -menyorot permasalahan boneka-boneka masa sekarang- mengatakan: “Terdapat perbedaan hukum antara mainan kekinian ini dengan mainan ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha. Dimana pada mainan kekinian ini terdapat hakikat penyerupaan, menandingi dan mirip dengan makhluk ciptaan Allah karena dia adalah bentuk makhluk bernyawa dari segala aspek. Boneka ini memiliki tampilan yang lebih bagus, buatan yang rapi, dan kilauan yang mengagumkan, tidak ada dari tiruan makhluk bernyawa yang diharamkan syari’at yang suci ini, yang sepertinya. Penamaannya dengan nama mainan atau kecilnya ukurannya tidak mengeluarkannya dari tiruan makhluk bernyawa, karena sesuatu dinilai dari hakikatnya bukan dari namanya. –Sampai perkataan beliau- Barangsiapa yang menyangka bahwa mainan ‘Aisyah Rodhiyallahu ‘Anha adalah tiruan makhluk bernyawa yang hakiki, maka wajib baginya mendatangkan dalil, dan dia tidak akan memiliki jalan untuk itu. karena mainan ‘Aisyah tidaklah diukir, tidak dipahat dan bukan terbuat dari material yang sesuai. Bahkan –secara zhohir- bonekanya terbuat dari bulu, kapas, potongan kain, kayu bulat atau tulang yang diikat melintang dengan kayu kecil, modelnya seperti mainan yang ada pada anak-anak perempuan di negeri-negeri arab yang jauh dari peradaban dan pusat kota, dimana boneka tersebut tidak menyerupai tiruan yang diharamkan kecuali kadar kemiripan yang sangat jauh sekali. Hal ini sebagaimana di Shohih Bukhory bahwa dahulu para shohabat melatih anak-anak mereka untuk berpuasa. Apabila anak-anak mereka meminta makan, maka meraka memberikan mainan dari bulu untuk menyibukkan mereka. Juga di Sunan Abu Daud beserta penjelasan tentang hadits ‘Aisyah berupa penyebutan kuda yang memiliki empat sayap dari kain perca. Demikian pula diketahui pada kondisi kehidupan orang arab yang mayoritasnya buatan mereka kasar dalam masalah gerabah, kendaraan, peralatan termasuk alat bermain dan sebagainya”. [Fatawa wa Rosa’il Syaikh Muhammad bin ‘Ibrohim bin ‘Abdil Lathif 1/180]

Next >>                                                            Halaman 2