-->
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ

Beberapa Aturan Seputar Ziinah (Hiasan) Wanita Muslimah

Dimaklumi bahwa yang diinginkan ‘Aisyah dengan khidhob adalah pewarna tangan dan kaki, bukan pewarna uban. Karena ketika Rasululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam meninggal, Ummul Mukminin masih belia. Bahan yang mereka pakai untuk berkhidhob adalah inai, karena itu mereka memperhatikan waktu pemakaiannya sehingga tidak mengganggu wudhu’ dan sholat mereka.
Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan:

نساؤنا يختضبن أحسن خضاب، يختضبن بعد العشاء، وينزعن قبل الفجر

“Para wanita kami memasang khidhob dengan sebaik-baiknya. Mereka berkhidob setelah ‘isya dan melepaskannya sebelum fajar”. (Atsar ini diriwayatkan Imam Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shohih)
Dalam riwayat lain beliau Rodhiyalohu ‘Anhu mengatakan:

َمَّا نِسَاؤُنَا فَيَخْتَضِبْنَ إِذَا صَلَّيْنَ الْعِشَاءَ، ثُمَّ يُطْلِقْنَ عَنْ أَيْدِيَهُنَّ لِلصُّبْحِ، ثُمَّ يُعِدْنَ عَلَيْهَا إِلَى صَلَاةِ الظُّهْرِ فَأَحْسَنَّ الْخِضَابَ وَلَا يَمْنَعْهُنَّ الصَّلَاةَ

“Adapun para wanita kami, maka mereka memasang khidhob apabila mereka telah selesai sholat ‘isya. Kemudian melepaskannya dari tangan-tangan mereka untuk sholat shubuh. Kemudian mereka kembali memasangnya sampai sholat zhuhur sehingga mereka mereka bisa membaguskan pemakaian khidhob dan tidak menghalangi sholat mereka”. (Atsar ini diriwayatkan Imam ‘Abdurrozzaq dengan sanad yang shohih)

Yang ingin kita petik dari hadits dan atsar-atsar di atas bahwasanya pewarnaan kulit dalam hiasan wanita, memiliki asal dalam syari’at ini selama bukan bersifat permanen (seperti tatto), sebagaimana telah lewat dalam pembahasan terdahulu.
Demikian juga dari atsar-atsar tersebut terlihat bagaimana cerdasnya para wanita salaf dalam mengatur agendanya sehingga tidak melalaikan kewajibannya. Bandingkan dengan wanita sekarang, diantara mereka memakai perwarna yang menghalangi air menyentuh kulit sehingga tidak sah wudhu’nya bahkan sebagian mereka menjama’ sholatnya untuk mempertahankan make up-nya, wallohul musta’aan.

PEMERAH PIPI DI KALANGAN MUSLIMIN TERDAHULU

Sumber pembahasan yang bersinggungan dengan masalah ini bisa didapatkan di banyak kitab-kitab ulama terdahulu dari kalangan Hanabilah maupun Syafi’iyyah. Adapun di kitab-kitab mazhab yang lain sejauh ini belum kami temukan pembahasan terkait, wallohul Musta’an.

1. Pembahasan Masalah Pemerah Pipi Di Mazhab Hanabilah

Masalah ini mereka gandengkan dengan masalah pengeritingan rambut, sebagian ulama Hanabilah ada yang menghukuminya dengan tadlis.
Namun larangan mereka tidak terkait tentang pembahasan hiasan yang singgung. Pembahasan ini terkait dengan penjualan budak wanita. Dan hukum tadlis tersebut juga bukan mereka tetapkan secara mutlak. Perkara tersebut mereka hukumi tadlis dalam kondisi apabila pemilik budak sengaja melakukan perkara tersebut untuk diperlihatkan ke calon pembeli karena rambut yang keriting dan pipi yang merah menunjukkan kekuatan pada budak tersebut. Sama halnya dengan menunggu menggumpalnya susu di dadanya kemudian menawarkannya kepada calon pembeli dalam kondisi tersebut. [Lihat: Al-Kaafi 2/48 dan Al-Mughny 7/217 karya Ibnu Qudamah (wafat 620), Al-Mubdi’ fi Syaril Muqni’ 4/80 karya Ibnu Muflih (wafat 884), Matholib Ulin Nuha 5/105 karya Ar-Ruhaibany (wafat 1243) dll]

Halaman 15
   Next >>