Penilaian
kategori-kategori ini dilihat dari kondisi perowi itu sendiri berupa
kekuatan dan ketelitian sesorang periwayat serta kadar keagamaannya.
Disamping itu juga dilihat keterkaitan antar periwayat dalam rantai
periwayatan, jangan sampai menggunakan hadits yang ternyata periwayat
yang satu tidak mendengar dari sebelumnya. Faktor lain yang diperhatikan
adalah penelusuran riwayat-riwayat semakna, karena dengannya bisa
dilihat mana riwayat yang saling menguatkan dan mana yang tidak. Lebuh
lanjutnya dipelajari di ilmu Mushtolahul Hadits.
Dua kategori pertama adalah hadits yang bisa diterima dan wajib digunakan. Karena dari penelitian yang dilakukan terhadap periwayatan, dapat memberi keyakinan atau dugaan kuat bahwa riwayat tersebut sah berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Adapun hadits dho’if, adalah hadits yang dicurigai kekeliruannya bisa jadi karena padanya terdapat periwayat yang dikenal hapalan lemah atau seorang mubtadi’ yang gemar menyebarkan pemahamannya dan sebagainya. Sementara hadits maudhu’ (palsu) terdapat diantara periwayatnya yang diketahui sebagai pemalsu hadits atau memang asalnya hanyalah perkataan yang masyhur di kalangan manusia kemudian orang-orang menduganya sebagai hadits. Hadits maudhu’ tidak boleh dipakai berdalil, karena memang bukan hadits pada hakikatnya.
HUKUM BERAMAL DENGAN HADITS DHO’IF
Para ulama sepakat bahwasanya hadits yang syadiidud dho’f (dho’ifnya berat) tidak boleh diamalkan, dan bahwasanya hadits yang yang dho’if (baik berat ataupun ringan) tidak diterima dalam menetapkan suatu hukum. Namun mereka berselisih pada perkara: Apabila hadits tersebut dho’if yasiir (ringan) apakah boleh dipakai dalam fadho’il a’mal (keutamaan- keutamaan amalan) atau tidak?
Dipahami dari kata fadho’il a’mal, bahwa maksudnya adalah: hukum amalan tersebut memiliki dalil yang sah namun ada hadits dho’if (yang ringan) tentang balasannya (pahala-pahalanya). Termasuk ke hukum amalan: penetapan sifat amalan, kadar, waktu dll yang semua ini tidak boleh ditetapkan dengan dalil yang sah. Dengan demikian pada hakikatnya disebutkan atau tidak hadits fadho’il ini, amalan tersebut telah ditetapkan dengan dalil lain.
Namun kebanyakan ulama yang membolehkan pemakaian hadits dho’if dalam fadho’il a’mal, pada prakteknya tetap menggunakan hadits tersebut pada amalan-amalan yang tidak ada dalil yang sah dalam menetapkannya. [Lihat Tamamul Minnah 35 Karya Imam Al-Albany Rahimahullah]
Bahkan dalam banyak contoh, mereka memukul rata istilah dho’if, sehingga masuk ke dalamnya syadiidud dho’f terkadang maudhu’!!! [Lihat Hajjatun Nabi Kama Rowaha Jabir bin ‘Abdillah Rodhiyallahu ‘Anhu 126 Karya Imam Al-Albany Rahimahullah]
Maka: Kami nasehatkan kepada saudara-saudara kami kaum muslimin di belahan timur maupun barat untuk meninggalkan amal dengan hadits dho’if secara keseluruhan, dan memfokuskan perhatian mereka untuk beramal dengan apa-apa yang sah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hadits-hadits yang shohih terdapat kecukupan dari hadits-hadits dho’if. Dengan langkah ini terdapat keselamatan dari jatuhnya seseorang dalam pendustaan atas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. [Shohih At-Targhib 1/ 65-66 Karya Imam Al-Albany Rahimahullah]
Yang benar dalam masalah ini adalah tidak boleh menyampaikan hadits kecuali yang sah. Barangsiapa yang membeda-bedakan syari’at, maka wajib baginya mendatangkan bukti. Jika seseorang menyebutkan hadits dho’if atau maudhu’ dan hadits yang tidak ada asalnya, maka terangkan bahwasanya tidak boleh beramal dengannya. Wallahu A’lam. [Makhroj minal Fitnah 103 Karya Imam Al-Wadi’iy Rahimahullah]
Imam Asy-Syaukany (Al-Fawa’idul Majmu’ah) dan Al-Hafizh Ibnu Hajar (Tabyinul ‘Ajab) mengatakan: “Ini adalah pensyari’atan, maka barangsiapa yang mengklaim adanya perincian wajib baginya untuk mendatangkan bukti dan kebenaran. Terkadang pada suatu hadits seseorang keliru menyangkanya termasuk ke masalah At-Targhib wat Tarhib (anjuran dan ancaman), kemudian datang orang yang lain menarik hukum dari hadits tesebut, maka itu adalah pensyari’atan. [Ijabatus Sa’il 449 - Imam Al-Wadi’iy Rahimahullah]
Dua kategori pertama adalah hadits yang bisa diterima dan wajib digunakan. Karena dari penelitian yang dilakukan terhadap periwayatan, dapat memberi keyakinan atau dugaan kuat bahwa riwayat tersebut sah berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Adapun hadits dho’if, adalah hadits yang dicurigai kekeliruannya bisa jadi karena padanya terdapat periwayat yang dikenal hapalan lemah atau seorang mubtadi’ yang gemar menyebarkan pemahamannya dan sebagainya. Sementara hadits maudhu’ (palsu) terdapat diantara periwayatnya yang diketahui sebagai pemalsu hadits atau memang asalnya hanyalah perkataan yang masyhur di kalangan manusia kemudian orang-orang menduganya sebagai hadits. Hadits maudhu’ tidak boleh dipakai berdalil, karena memang bukan hadits pada hakikatnya.
HUKUM BERAMAL DENGAN HADITS DHO’IF
Para ulama sepakat bahwasanya hadits yang syadiidud dho’f (dho’ifnya berat) tidak boleh diamalkan, dan bahwasanya hadits yang yang dho’if (baik berat ataupun ringan) tidak diterima dalam menetapkan suatu hukum. Namun mereka berselisih pada perkara: Apabila hadits tersebut dho’if yasiir (ringan) apakah boleh dipakai dalam fadho’il a’mal (keutamaan- keutamaan amalan) atau tidak?
Dipahami dari kata fadho’il a’mal, bahwa maksudnya adalah: hukum amalan tersebut memiliki dalil yang sah namun ada hadits dho’if (yang ringan) tentang balasannya (pahala-pahalanya). Termasuk ke hukum amalan: penetapan sifat amalan, kadar, waktu dll yang semua ini tidak boleh ditetapkan dengan dalil yang sah. Dengan demikian pada hakikatnya disebutkan atau tidak hadits fadho’il ini, amalan tersebut telah ditetapkan dengan dalil lain.
Namun kebanyakan ulama yang membolehkan pemakaian hadits dho’if dalam fadho’il a’mal, pada prakteknya tetap menggunakan hadits tersebut pada amalan-amalan yang tidak ada dalil yang sah dalam menetapkannya. [Lihat Tamamul Minnah 35 Karya Imam Al-Albany Rahimahullah]
Bahkan dalam banyak contoh, mereka memukul rata istilah dho’if, sehingga masuk ke dalamnya syadiidud dho’f terkadang maudhu’!!! [Lihat Hajjatun Nabi Kama Rowaha Jabir bin ‘Abdillah Rodhiyallahu ‘Anhu 126 Karya Imam Al-Albany Rahimahullah]
Maka: Kami nasehatkan kepada saudara-saudara kami kaum muslimin di belahan timur maupun barat untuk meninggalkan amal dengan hadits dho’if secara keseluruhan, dan memfokuskan perhatian mereka untuk beramal dengan apa-apa yang sah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hadits-hadits yang shohih terdapat kecukupan dari hadits-hadits dho’if. Dengan langkah ini terdapat keselamatan dari jatuhnya seseorang dalam pendustaan atas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. [Shohih At-Targhib 1/ 65-66 Karya Imam Al-Albany Rahimahullah]
Yang benar dalam masalah ini adalah tidak boleh menyampaikan hadits kecuali yang sah. Barangsiapa yang membeda-bedakan syari’at, maka wajib baginya mendatangkan bukti. Jika seseorang menyebutkan hadits dho’if atau maudhu’ dan hadits yang tidak ada asalnya, maka terangkan bahwasanya tidak boleh beramal dengannya. Wallahu A’lam. [Makhroj minal Fitnah 103 Karya Imam Al-Wadi’iy Rahimahullah]
Imam Asy-Syaukany (Al-Fawa’idul Majmu’ah) dan Al-Hafizh Ibnu Hajar (Tabyinul ‘Ajab) mengatakan: “Ini adalah pensyari’atan, maka barangsiapa yang mengklaim adanya perincian wajib baginya untuk mendatangkan bukti dan kebenaran. Terkadang pada suatu hadits seseorang keliru menyangkanya termasuk ke masalah At-Targhib wat Tarhib (anjuran dan ancaman), kemudian datang orang yang lain menarik hukum dari hadits tesebut, maka itu adalah pensyari’atan. [Ijabatus Sa’il 449 - Imam Al-Wadi’iy Rahimahullah]
Next >> Halaman 6