-->
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ

Hadits Dho'if Dan Hukum Beramal Denganya

BAGAIMANA CARA MEMILAH HADITS?

Penukilan-penukilan banyak benarnya dan banyak dustanya, maka dalam pembedaan antara ini dan itu, kembalinya adalah kepada ilmu hadits, sebagaimana kita kembali kepada ahli nahwu dalam membedakan mana yang sastra arab dan mana yang bukan atau kembali ke dokter untuk masalah pengobatan. Setiap bidang ilmu memiliki orang-orang yang dikenal dengan keilmuannya. [Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 4/10]

Jalan bagi orang yang ingin berdalil dengan hadits-hadits dari Kitab Sunan yang empat (Abu Daud, Tirmidzy, An-Nasa’i dan Ibnu Majah) terlebih Sunan Ibnu Majah, serta kitab lain seperti Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah dan Mushonnaf ‘Abdur Rozzaq, serta kitab-kitab hadits yang lain, sesungguhnya pengumpulnya tidak memasukkan hadits yang shohih dan hasan saja. Karena itu bagi orang yang ingin memakai hadits untuk berdalil: Kalau dia seorang yang mampu untuk membedakan hadits yang shohih atau dho’if, maka dia tidak boleh berdalil dengannya langsung sampai dia meneliti hadits tesebut dari berbagai sisi. Namun jika dia tidak mampu maka dia mencari ulama yang dikenal memiliki kemampuan untuk itu maka dia mengikutinya. Kalau tidak bisa, janganlah dia berdalil seperti pencari kayu bakar di malam hari (tidak bisa membedakan antara kayu dan ular), bisa-bisa dia berdalil dengan sesuatu yang batil tanpa dia sadari. [Perkataan Ibnu Hajar -dengan sedikit perubahan- sebagaimana dinukil di Mirqotul Mafatih 1/21]

Apabila seseorang tidak memiliki kemampuan dalam merojihkan shohih atau dho’ifnya hadits, maka: Dia mengikuti pendapat orang yang dia yakini paling berilmu. Hal ini tidak teranggap taqlid (mengikuti pendapat dengan membabi-buta), karena Allah ‘Azza wa Jalla mengatakan dalam Kitab-nya yang mulia:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا

"Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepada kalian seorang yang fasiq maka jangan terburu-buru menerimanya, telitilah dan pelajari dengan seksama." (QS. Al Hujurot 6)

Apabila dia bisa meminta (mencari) penjelasan dari yang mendho’ifkannya, maka dia mesti memintanya. Namun apabila dia tidak mampu atau tidak paham, maka ambil pendapat ulama (hadits) yang paling berilmu. [Dari kaset Syaikh Muqbil Rahimahullah beberapa hari sebelum beliau meninggal, sebagaimana dinukil dalam Al-Fatawa Al-Haditsiyyah li ‘Allamatid Diyaaril Yamaniyyah 2/300. Makna semisal juga dijelaskan oleh Imam Asy-Syathiby di Al-I’tishom 3/109]

Tidak diragukan bahwa bahwa apabila seorang Imam mengatakan: “Ini hadits shohih, maka maknanya dia mengabarkan bahwa para periwayat adalah orang-orang yang sempurna kredibilitasnya serta sisi kekuatan dan ketelitian hapalan, demikian pula terpenuhi syarat-syarat hadits shohih yang lain. Masalah ini termasuk masalah pemberitaan dari seorang yang adil, mesti diterima dan bukan termasuk taqlid. [Taudhihul Afkar li Ma’ani Tanqihul Anzhor 1/80 karya Al-Amiir Abu Ibrohim Ash-Shon’any Rahimahullah] [Lihat juga perkataan Imam Asy-Syaukany dalam Irsyadun Nuqod ila Taisiril ijtihad]

Tapi ingat, untuk menentukan orang yang paling berilmu jangan asal-asalan, karena ada orang yang masyhur di kalangan muslimin sebagai pakar hadits, namun dia tergelincir dalam beberapa perkara seperti bergampangan dalam mentsiqohkan orang yang tidak dikenal.

Ibnu Hibban Rahimahullah adalah seseorang yang bergampangan dalam mentsiqohkan orang yang tidak dikenal, adapun dalam masalah jarh, beliau keras. [Rijalul Hakim 1/8 karya Imam Al-Wadi’iy Rahimahullah]

Hal ini tentu berpengaruh besar dalam menentukan shohih atau tidaknya sebuah hadits. Karena yang menjadi patokan dalam masalah ini adalah seseorang alim yang dikenal sebagai orang yang benar-benar cermat, teliti dan berhati-hati. Hal ini bisa kita ketahui dari biografinya, baik berupa rekomendasi ulama lain terhadapnya maupun kritikan mereka, serta besarnya perhatian seorang alim tersebut dalam masalah penghukuman derajat hadits. Wallahu A’lam

Next  >>                                                  Halaman 7