-->
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ

BISAKAH MENGHADIAHKAN PAHALA BAGI ORANG YANG TELAH MENINGGAL (MAYYIT) ? (bagian dua: Ibadah-Ibadah Badaniyyah)

Dari dalil yang dibawakan, tidak diragukan akan kuatnya pendapat ini. Pendapat inilah yang dikuatkan Syaikh Al-‘Utsaimin, Ibrohim bin Muhammad Alu Syaikh, ‘Abdurozzaq ‘Afify, ‘Abdulloh bin Ghudayyan, ‘Abdulloh bin Mani’, Ibnu Baaz, Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid, ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, Sholih Al-Fauzan dan Syaikh kami Muhammad bin ‘Ali bin Hizam. Demikian juga Syaikh Al-Albany, akan tetapi sebagaimana dimaklumi beliau berpendapat yang boleh menghajikan atau yang meng’umrohkan hanyalah anak mayyit, kecuali jika mayyit mewasiatkan orang lain. [Liqoo-u Babil Maftuh kaset 89, Fatwa Al-Lajnah Ad-Daa-imah 1/11/83, Fatwa Al-Lajnah Ad-Daa-imah 2/10/72, Majmu’ Fatawa Ibni Baaz 16/372, Fatawa Nuur ‘Alad Darb 14/317, Fatawa Jeddah kaset 24 side A]

2. AMALAN-AMALAN BADANIYYAH LAINNYA YANG TIDAK ADA DALILNYA (PEMBACAAN AL-QUR’AN UNTUK MAYYIT, SHOLAT, PUASA SUNAT DLL)

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini, jumhur ulama menyatakan bahwa jika amalannya dilakukan atas nama mayyit maka pahalanya sampai. Mereka menyamakan amalan-amalan ini dengan amalan-amalan ibadah yang telah ada dalilnya dan karena tidak adanya larangan dalam masalah tersebut. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam dan Ibnul Qoyyim, Ibnu Qudamah dan inilah yang dipilih Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin Rahimahumulloh. [Lihat: Majmu’ul Fatawa Ibni Taimiyyah 24/366, Ar-Ruuh karya Ibnul Qoyyim 142, Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Al-‘Utsaimin 2/316, 17/263]
Sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa amalan yang sampai kepada mayyit hanyalah amalan-amalan yang ada dalilnya. Adapun yang tidak ada dalilnya maka tidak bisa kita samakan. Ini adalah pendapat yang masyhur di mazhab Asy-
Syafi’i dan juga pendapat kebanyakan ulama Malikiyyah. Dan inilah yang dikuatkan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz serta Syaikh kami Yahya Al-Hajury dan Muhammad bin ‘Ali bin Hizam. [Majmu’ul Fatawa Ibni Taimiyyah 24/323, Majmu’ Fatawa Ibni Baaz 4/340]
Pendapat kedua inilah pendapat yang kuat -wallohu a’lam- hal itu dikarenakan tidak bolehnya melakukan ibadah kecuali apa yang ditentukan syari’at.
Kalau dikatakan: Jawaban yang diberikan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam hanya sebatas perkara-perkara tersebut karena memang pertanyaan sebatas hal tersebut. Yakni beliau membolehkan haji karena yang ditanya adalah masalah haji, beliau membolehkan sedekah karena yang ditanya adalah sedekah.
Maka jawabnya: Hal ini cuma terjadi pada sebagian contoh. Pada hadits ‘Abdulloh bin ‘Amr bin Al-‘Ash yang telah disebutkan diatas, yang ditanyakan kepada beliau hanya masalah pembebasan budak, namun beliau menjelaskan bolehnya haji dan sedekah tidak menyebutkan perkara lain semisal membaca Al-Qu’an ataupun sholat yang kemungkinan kesempatan menghadiahkan pahala lebih banyak, wallohu a’lam.
Kemudian dari itu, beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak menyebutkan ‘illah (sebah hukum) kenapa amalan-amalan tersebut sampai pahalanya ke mayyit, beliau tidak mengatakan: “karena merupakan amalan kebaikan”, sehingga bisa diqiyaskan ke amalan-amalan yang lain.

‘Illah yang beliau sebutkan hanya satu bentuk yaitu penyerupaan dengan hutang, sebagaimana di hadits Ibnu ‘Abbas tentang pertanyaan wanita dari Buhainah. Dengannya maka setiap amalan yang masih dalam tanggungan mayyit bisa dilakukan oleh orang yang masih hidup setelahnya. Adapun amalan-amalah yang sudah tidak berada dalam tanggungan mayyit, maka dibutuhkan dalil yang membolehkan hal tersebut. Seperti bolehnya haji tathowwu’ atas nama mayyit berdasarkan keumuman hadits ‘Abdulloh bin ‘Amr bin Al-‘Ash di atas, wallohu a’lam.

Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullohu Ta’ala mengatakan: “Bacaan Al-Qur’an untuk orang-orang yang telah meninggal tidak ada kaidah pokok yang bisa dijadikan sandaran, tidak ada juga pensyari’atan (dalil). Yang disyari’atkan hanyalah pembacaan Al-Qur’an di kalangan orang yang masih hidup agar mereka mengambil faidah, mentadabburi dan memahami kitabulloh. Adapun pembacaan Al-Qur’an untuk mayyit di sisi kuburannya, setelah meninggal sebelum dikubur ataupun pembacaan tersebut dilakukan di tempat manapun sehingga bisa dihadiahkan untuknya maka kami tidak mengetahui adanya asal masalah ini (dalam syari’at).


Next>>                                                  Halaman 4