Alasan ini bisa mungkin bisa dijawab oleh dua kelompok sebelumnya, bahwa tasyabbuh terjadi apabila sebuah amalan merupakan kekhususan mereka, yaitu ciri yang mereka dikenal dengannya, artinya tidak dikenal yang memakai pewarna di wajah kecuali wanita kafir atau fasik. Apabila sebuah amalan muncul atau dimulai oleh orang kafir -dan pasti yang mempopulerkan adalah mereka, karena wanita baik-baik tidak akan memajang dirinya di media-media- tidak mesti dikatakan bahwa amalan tersebut merupakan kekhususan mereka. Berapa banyak amalan-amalan dan alat-alat yang muncul dari kafir dan mereka populerkan di media-media, namun para ulama tidak menghukuminya sebagai bentuk tasyabbuh.
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan: “Timbangan tasyabbuh adalah: seorang melakukan penyerupaan dalam kekhususan orang yang diserupai. Tasyabbuh dengan orang kafir adalah seorang muslim melakukan seuatu yang merupakan kehususan mereka. Adapun perkara yang telah berkembang di kalangan muslimin sehingga orang kafir tidak bisa dibedakan dengannya, maka tidak terjadi tasyabbuh. Tidak juga haram karena tasyabbuh kecuali ada unsur keharaman di sisi lain. Apa yang kami sampaikan ini adalah konsekwensi yang ditunjukkan oleh kata (tasyabbuh) ini”. [Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Al-‘Utsaimin 12/290]
Terlebih lagi meletakkan pewarna di tubuh wanita tidak ada larangan secara khusus, bahkan sebaliknya terdapat dalil tentang pemakaian celak di mata, ataupun inai di tangan dan kaki. Kecuali jika model hiasan wajah tersebut nyentrik, ataupun memboroskan harta maka yang seperti ini mungkin bisa digolongkan dalam kebiasaan mereka (orang-orang yang mengabaikan syari’at) karena syari’at ini melarang tindakan berlebih-lebihan, demikian juga jika make up itu dipertontonkan kepada lelaki yang bukan mahram. Tidak boleh bagi seorang wanita muslimah mengambil perkara terlarang sebagai sebuah kebiasaan.
Jawaban kedua, bahwasanya pemerah pipi bukanlah perkara yang baru di kalangan kaum muslimin. Masalah ini dicantumkan di kitab-kitab fiqih ulama terdahulu (sebagaimana telah lewat penyebutannya).
Alasan bahwa hiasan ini (make up) tidak diturunkan Alloh penjelasan tentangnya, mengandung konsekwensi -kalau dicermati- bahwa setiap hiasan yang dipakai wanita mesti ada dalilnya. Yakni hukumnya seperti ibadah yang tidak boleh dilakukan kecuali ada dalil.
Hal tersebut jelas menyelisihi hukum asal akan bolehnya hiasan bagi wanita baik yang dahulu dikenal maupun tidak selama tidak ada faktor lain yang menyeretnya kepada keharaman, sesuai keumuman ayat.
2. Masalah bahaya dan dampak negatif yang ditimbulkan pemakaian make up
Mungkin banyak dari muslimah yang telah mendengar atau mungkin melihat bahaya yang ditimbulkan akibat penggunaan make up, mulai dari jerawat, alergi, iritasi, flek hitam, kelainan pigmen, penuaan dini sampai kulit wajah memerah yang kelihatan terbakar. Tentunya semuanya sepakat bahwasanya wajar perkara ini dihindari akibat kemungkinan munculnya kerusakan tersebut.
Kalau dikatakan, bukankah syari’at ini membolehkan menempuh bahaya yang ringan demi mendapatkan maslahat yang rojih (maslahatnya dominan sehingga kerusakan bisa diabaikan) sebagaimana bolehnya imunisasi walau memiliki kemungkinan menimbulkan efek samping seperti demam dll?
Hal tersebut benar, namun kondisi di atas tidak bisa langsung kita analogikan kepada kerusakan yang ditimbulkan akibat penggunaan make up yang disebutkan. Bahkan sebaliknya, kerusakan yang ditimbulkan justru lebih rojih (kerusakannya dominan sehingga maslahatnya bisa diabaikan) karena -diantaranya- bersifat permanen (seperti penuaan dini, kulit buram, atau kelihatan seperti terbakar) bandingkan dengan manfaat yang hanya bersifat “pelengkap” dan sementara.
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan: “Boleh bagi wanita berhias untuk suaminya dengan berbagai jenis riasan kecantikan yang tidak diharamkan, baik itu pada mata, kedua pipi, bibir atau tempat lain yang menjadi lokasi keindahan dan hiasan.
Halaman 21