Beliau -sebagaimana kebiasaan
para pendahulu- memilih orang yang tepat untuk melanjutkan perjuangannya dalam
membawa umat kepada kebaikan dan memperingatkan mereka dari kejelekan. Murid
yang beliau pilih adalah Yahya Al-Hajury, seseorang yang beliau akui sendiri
keilmuannya, akhlaknya, dan kekokohannya dalam memerangi para penyelisih
sunnah. Namun hari ini tak beda dengan
hari yang lalu. Mesti ada yang tak senang akan penggantian itu, bahkan sampai
mendatangi Imam Al-Wadi’iy di masa-masa sakit menjelang kematiannya untuk
mengemukakan keberatannya, kenapa Al-Hajury yang diamanahkan untuk menduduki
kursi di majelis?!! Namun apa hendak dikata, sang Imam berkata lirih: “Aku
lebih mengetahui kondisi muridku”.
Sepeninggal sang Imam operasi tak
berhenti. Berbagai makar terus berjalan, patah tumbuh hilang berganti, walau
mesti berharap dia tewas di tangan musuh Islam yang berbuat arogan, walau harus
mencari bahkan memaksakan untuk menuduhnya dengan sebuah kesalahan.
Segala puji bagi hanya bagi Allah
yang telah menganugerahkan kepada beliau kesabaran dan mengkaruniakan kepadanya
sikap tawakkal (pemasrahan urusan) kepada Robbul ‘Alamin. Inilah yang terpancar
dari amalan dan perkataannya, Allahlah yang lebih mengetahui apa yang ada di
hatinya.
SESUATU YANG MUNGKIN PANTAS
DIJADIKAN SEBAGAI RENUNGAN
Para salaf tidak mengajarkan kita
untuk menggantungkan diri pada perkataan dan pendapat seseorang, sebagian
ataupun mayoritas orang. Akan tetapi kepada Al-Qur’an dan Sunnahlah kita
bergantung. Penggantungan keyakinan kepada pendapat orang-orang bukanlah
didikan salafus sholih, justru ciri ini tampak nyata pada perilaku ahlul bid’ah
yang menyelisihi jalan mereka. Tidaklah orang-orang itu menyimpang melainkan
karena mereka lebih mengedepankan pendapat tokoh panutan mereka ketimbang
aturan yang ditetapkan dalam syari’at. Selama namanya manusia -kecuali
yang dirahmati Allah-, tidak ada yang bisa selamat dari serangan hawa nafsu,
entah itu awam atau ulama. Allah telah menghikayatkan perkataan istri Al-Aziz :
وَمَا
أُبَرِّئُ نَفْسِي إِنَّ النَّفْسَ
لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ
رَبِّي إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ
رَحِيم
“Aku
tidak menyatakan diriku bebas dari kesalahan, karena sesungguhnya nafsu itu
selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Robbku.
Sesungguhnya Robbku Ghofur (Maha Pengampun) dan Rohiim (Maha Pemberi Rahmat)”.
(QS Yusuf 53)
Kebenaran dalam syari’at ini
tidaklah bisa berubah. Apa yang dahulu merupakan sebuah kebenaran, akan tetap
menjadi kebenaran sampai hari kiamat. Akan tetapi manusialah yang sikapnya bisa
berubah-ubah. Apabila seseorang mempertahankan
hawa nafsu yang sudah terlanjur terbenam di hati, mau tidak mau dia mesti
membela kesalahan yang dahulu dia ingkari dan menentang kebenaran yang terasa
tak pas di hati, sadar tidak sadar dia mesti berusaha menyamarkan kebenaran
menjadi sebuah kesalahan dan kesalahan menjadi kebenaran, karena kebenaran yang
hakiki tidak akan menjadi penolong bagi hawa nafsunya.
Karena itulah pertentangan sikap
dalam menghadapi dua kasus yang sama (misalnya: Pada amalan dan alasan yang
sama, kalau teman atau pendukungnya yang melakukan dibiarkan saja bahkan
dibela. Apabila yang melakukan adalah orang lain maka disalahkan) merupakan
ciri bahwa orang tersebut sedang tidak bertindak di atas jalan ahlussunnah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan: “Barangsiapa yang
menempuh jalan ahlussunnah maka akan lurus perkataannya, dan dialah ahlul haq,
istiqomah (kelurusan) dan i’tidal (kesetimbangan). Kalau tidak (menempuh jalan
ahlussunnah) maka akan terjadi kebodohan, kedustaan, kekurangan, dan sikap yang
saling bertolak belakang”. [Minhajus Sunnah 4/313]