-->
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ

Hadits Dho'if Dan Hukum Beramal Denganya

Pada hadits ini terdapat isyarat tentang munculnya para pendusta yang akan menyusupkan hadits-hadits palsu ke dalam agama ini, sebagaimana diterangkan dalam riwayat lain:

يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ، يَأْتُونَكُمْ مِنَ الْأَحَادِيثِ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ، وَلَا آبَاؤُكُمْ، فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ، لَا يُضِلُّونَكُمْ، وَلَا يَفْتِنُونَكُم

“Akan terdapat di akhir umatku ini para dajjal pendusta, mereka datang kepada kalian dengan hadits-hadits yang tidak pernah didengar oleh kalian dan juga bapak-bapak kalian. Maka menjauhlah kalian dari mereka dan jauhkanlah mereka dari kalian. Jangan sampai mereka menyesatkan dan memfitnah kalian.” (HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallahu ‘Anhu)

Pada hadits tersebut terdapat isyarat bahwa tidak sepantasnya hadits itu diambil, kecuali dari orang-orang yang dipercaya, diketahui kekuatan hapalan dan tingkat ketelitiannya serta kejujuran dan sifat amanahnya. Demikian seterusnya sifat orang-orang dalam rantai periwayatan sampai kepada shohabat. Pada hadits tersebut juga terdapat tanda-tanda kenabian dan mukjizat beliau. Terbukti terdapat di setiap zaman banyaknya para pendusta yang seringnya muncul dari kalangan orang-orang bodoh yang berpemahaman sufi. [Faidhul Qodhir Syarhu Jami’ish Shogir 4/132-133 karya Al-Munawy Rahimahullah]

TERJAGANYA SYARI’AT AGAMA INI DENGAN ISNAD, DENGANNYA BISA DIPERIKSA KEABSAHAN PENUKILAN-PENUKILAN

Diantara nikmat besar yang Allah karuniakan kepada umat ini adalah Allah menjaga sunnah nabi-Nya yang terus diriwayatkan oleh para ulama dari generasi ke generasi sehingga bisa diperiksa dan diketahui keabsahan hadits tersebut dengan melihat kondisi orang-orang yang terdapat pada isnad (rantai periwayatan), sehingga syari’at ini tetap terjaga -walaupun pada sebagian orang- dari kekeliruan ataupun niat jahat orang-orang yang ingin mengubah agama ini sebagaimana yang terjadi pada agama-agama terdahulu.

Allah memuliakan agama ini dengan isnad yang tidak diberikan kepada selainnya. Maka berhati-hatilah kalian dari mengikuti langkah-langkah Yahudi dan Nashroni dengan menyampaikan hadits tanpa sanad, sehingga kalian mencabut nikmat Allah dari diri kalian, menghantamkan tuduhan kepada kalian, merendahkan kedudukan kalian, bergabung dengan kaum yang Allah laknat dan murkai, menempuh jalan mereka… [Sirojul Muriidiin karya Imam Al-Qodhi Abu Bakr Ibnul ‘Aroby Rahimahullah sebagaimana dinukilkan oleh Al-Kattany dalam Fahrosul Faharis 1/80 Rahimahullah]
Ilmu isnad dan periwayatan termasuk perkara yang Allah khususkan bagi umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan menjadikannya sebagai jembatan untuk mengetahui syari’at agama ini.

Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) tidak memiliki isnad yang dengannya mereka bisa menelusuri nukilan-nukilan, demikian juga para ahlul bid’ah, orang-orang sesat dalam umat ini. Isnad tersebut hanya dimiliki oleh orang-orang yang Allah muliakan dengan anugerahnya, yang itu Ahlus Islam, Ahlussunnah. Dengannya mereka membedakan mana yang “sehat” dengan yang “sakit”, yang “bengkok” dengan yang “lurus”. Sementara para ahlul bid’ah dan orang-orang kafir mereka hanya mengandalkan nukilan-nukilan tanpa isnad, mereka membangun agama mereka di atas nukilan-nukilan tersebut, tidak bisa dengannya mengetahui mana yang haq dari kebathilan. [Majmu’ul Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah: 1/9]

Sesuatu yang dinukilkan orang-orang di belahan timur, barat atau keseluruhannya, atau yang dinukilkan seseorang yang terpercaya dari orang yang semisalnya, namun ujungnya terhenti pada seseorang yang antara dia dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terdapat pemisah (periwayat) satu orang atau lebih. Orang ini tidak menyebutkan siapa pemisah yang telah mengabarkan kepadanya syari’at Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sehingga pemisah tersebut tidak bisa diketahui. Model seperti ini banyak diambil oleh kaum muslimin, namun kita tidak mengambilnya sama sekali dan tidak juga menyandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena kita tidak mengetahui siapa yang menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Bisa jadi orang tersebut tidak bisa dipercaya atau diketahui bahwa apa yang diriwayatkan darinya berbeda dengan riwayat-riwayatnya yang dikenal. Jenis seperti (terakhir) ini banyak terdapat pada penukilan-penukilan Yahudi bahkan hal ini lebih tinggi daripada apa yang ada pada mereka, karena mereka tidak mendekatkan isnad mereka ke Musa sebagaimana dekatnya kita dengan Muhammad  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bahkan isnad mereka terhenti dan ini mesti, karena antara mereka dan Musa ‘Alaihis Salam lebih dari tiga puluh generasi dalam seribu lima ratus tahun lebih. Nukilan mereka hanya sampai kepada Hilal, Syamaany, Mar’aqiima dan semisal mereka. Saya menyangka mereka cuma punya satu masalah yang diriwayatkan dari pendeta mereka dari nabi diantara nabi-nabi mereka yang terakhir secara langsung, tentang seorang lelaki menikahi anaknya apabila saudara lelaki perempuan tersebut meninggal. Adapun nashrani mereka tidak punya penukilan dengan sifat ini, kecuali pada masalah pengharaman perceraian saja, bersamaan dengan itu nukilan ini berputar pada para pendusta yang diketahui kedustaannya… 

Next  >>                                                  Halaman 2