Tidak
ada dalil bagi kita dari perbuatan seseorang selain yang diperintahkan
Allah Ta’ala untuk mengikutinya dan mengutusnya kepada kita untuk
menjelaskan agama-Nya, apalagi kalau penukilan perbuatan mereka terdapat
tambahan dari orang-orang yang keliru. Tidak ada hujjah pada orang yang
keliru tersebut karena wahyu tidak akan datang untuk menjelaskan
kekeliruannya. Jenis ini merupakan sifat penukilan seluruh nukilan
Yahudi tentang syari’at mereka yang sekarang mereka sudah tidak di atas
Taurat tadi. Demikian juga sifat penukilan Nashrani, kecuali dalam
masalah pengharaman perceraian. Yahudi tidak memungkinkan mereka untuk
mencapai Shohabat nabinya, tidak juga tabi’i, sementara Nashoro paling
tingginya hanya mencapai Syam’un, terus ke Paulus lalu uskup-uskup
mereka generasi demi generasi. Ini perkara yang tidak bisa seorang dari
mereka mengingkari dan mereka tidak akan bisa mengingkari sedikitpun,
kecuali seseorang diantara mereka mengklaim dengan cara berdusta.
[Al-Fashl fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal 2/69-70 karya Imam Ibnu Hazm
Rahimahullah]
Imam ‘Abdullah Ibnul Mubarok Rahimahullah mengatakan: “Isnad (rantai periwayatan) merupakan bagian dari agama. Kalaulah bukan karena isnad, maka sungguh siapa yang mau bisa mengatakan sesukanya.” [Muqoddimah Shohih Muslim]
BERHATI-HATINYA PARA SALAF -sejak zaman shohabat- DAN ULAMA HADITS DALAM MEMILAH SERTA UPAYA MEREKA MENJELASKAN KEPADA MANUSIA.
Tak
semua yang didengar bisa diriwayatkan, seorang muslim mesti
berhati-hati dalam menyampaikan perkataan karena hal tersebut bisa malah
menjadi bencana bagi dirinya. Allah Ta’ala berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak satu pun kata yang terlontar, melainkan disisinya ada malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat(” (QS. Qof 18)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إن العبد ليتكلم بالكلمة ما يتبين فيها يزل بها في النار أبعد مما بين المشرق والمغرب
“Sungguh seorang hamba, berbicara dengan sepatah kata tanpa peduli dengan apa yang dia ucapkan, maka dia akan tergelincir ke dalam neraka lebih jauh dari apa-apa diantara timur dan barat.” (HR. Bukhory Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallahu ‘Anhu)
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukup
seorang lelaki dikatakan berdusta apabila dia menyampaikan setiap yang
dia dengar.” (HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallahu ‘Anhu)
Karena itulah, para salaf yang berhati-hati untuk menerima dan menyampaikan sebuah perkataan terlebih-lebih perkataan tersebut disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Mujahid Rahimahullah berkata: “Busyair Al-’Adawy datang kepada Ibnu ‘Abbas Rodhiyallahu ‘Anhu, maka mulailah dia menyebutkan hadits dan berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda … Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda …”. Ibnu ‘Abbas pun tidak mengacuhkan perkataannya dan tidak melihat kepadanya, maka Busyair berkata: “Wahai Ibnu ‘Abbas, ada apa denganku sehingga aku melihat engkau tidak mendengarkan haditsku? Aku menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam namun engkau tidak mendengarnya?” Ibnu ‘Abbas lantas berkata: “Dahulu kami jika mendengar seseorang berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda”, mata-mata kami bercucuran dan kami simak dengan telinga-telinga kami. Ketika manusia mulai menempuh berbagai cara, maka kami tidak mengambil hadits kecuali dari yang kami kenal”.
Next >> Halaman 3