Sibawaih Rahimahulloh mengatakan:
“Sarowil kata tunggal yang diarabkan. Asalnya adalah bahasa ‘ajam”. [Al-Ushul
fin Nahwi 2/88 karya Ibnus Siroj An-Nahwy (meninggal tahun 316 H), Ash-Shihah
karya Al-Jauhary (meninggal tahun 393 H)]
Ibnul Manzhur Rahimahulloh
mengatakan: “Sarowil, bahasa Persia yang kemudian diarabkan”. [Lisanul ‘Arob,
pada huruf siin]
Sirwal adalah pakaian yang
dikenal sebagai pakaian yang syar’i, mulai dari zaman shohabat sampai sekarang.
Selain hadits Abu ‘Umamah di atas, di antara hadits yang menunjukkan makna
tersebut adalah, perkataan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ketika
ditanya tentang pakaian muhrim (orang yang berihrom):
يَلْبَسُ
القَمِيصَ، وَلاَ العِمَامَةَ، وَلاَ
السَّرَاوِيلَ، وَلاَ البُرْنُسَ …
“Jangan
memakai qomis, tidak ‘imamah, tidak sirwal, tidak burnus … al-hadits”.
(HR Bukhory-Muslim dari ‘Abdulloh bin ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhuma)
Sisi pendalilan: Bahwa larangan
pengkhususan pakaian-pakaian tersebut bagi muhrim menunjukkan pembolehan bagi
yang tidak muhrim.
Demikian juga sebagaimana
disebutkan dalam hadits Suwaid bin Qois Rodhiyallohu ‘Anhu dimana beliau
berkata:
جَلَبْتُ
أَنَا وَمَخْرَفَةُ الْعَبْدِيُّ، بَزًّا مِنْ هَجَرَ
فَأَتَيْنَا بِهِ مَكَّةَ فَجَاءَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْشِي فَسَاوَمَنَا بِسَرَاوِيلَ،
فَبِعْنَاهُ، وَثَمَّ رَجُلٌ يَزِنُ
بِالْأَجْرِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: زِنْ وَأَرْجِحْ
“Saya dan
Makhrofah Al-‘Abdy datang membawa pakaian dari daerah Hajar (dekat Madinah),
lalu kami mendatangi Makkah dengan pakaian tersebut. Maka Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berjalan mendatangi kami. Beliaupun menawar
sirwal, maka kami menjualnya. Disitu ada seseorang lelaki upahan yang biasa
menakar harga, maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadanya:
“Tentukanlah harga (sirwal tersebut) dan lebihkan”. (HR Abu Daud dan lainnya,
dishohihkan Syaikh Al-Albany dan dihasankan Syaikh Muqbil Rahimahumalloh)
HUKUM MEMAKAI SIRWAL TANPA SARUNG
Memang hukum asal perintah
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah wajib, akan tetapi hukum itu
bisa menjadi mustahab jika ada dalil lain yang memalingkannya. Penghukuman
terhadap suatu hukum dalam syari’at ini tidak boleh dengan sebagian dalil saja,
akan tetapi harus digabungkan dalil-dalil yang sah dalam sebuah masalah
sehingga bisa ditarik kesimpulannya. Luputnya sebagian dalil maupun luputnya
pemahaman dalil bagi seseorang sangat berpengaruh dalam menentukan pendapat
yang dikuatkannya.
Masalah pemakaian sirwal tanpa
sarung terdapat beberapa yang terkait dengan penentuan hukum, yang bisa
memalingkan hukum perintah penyelisihan terebut menjadi istihbab (sunat),
diantaranya:
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam mengatakan ketika khutbah Hari ‘Arofah:
مَنْ
لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ
الخُفَّيْنِ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ
إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ لِلْمُحْرِمِ
“Barangsiapa
yang tidak mendapatkan sepasang sendal maka pakailah sepasang khuf, barang
siapa yang tidak mendapatkan sarung maka pakailah sirwal, bagi orang-orang yang
ihrom”. (HR Bukhory-Muslim dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhuma)
Sisi pendalilan: Pengkhususan
penyebutan sirwal ketika tidak mendapatkan sarung. Kalaulah alasannya karena
dhoruroh –sebagaimana disebutkan sebagian orang- masih ada pakaian lain yang
bisa menutupi aurat, yang bukan termasuk jenis pakaian yang diperintahkan untuk
diselisihi, semisal qomis, burnus ataupun qoba’. Justru jika mereka (jemaah
haji pria) memakai salah satu dari pakaian itu ketika tidak ada sarung, mereka
malah terkena fidyah. Adapun jika mereka memakai sirwal, mereka tidak terkena
fidyah sama sekali.