Mungkin banyak diantara kita yang pernah mendengar kedua atsar ini dan biasanya dijadikan penyemangat bagi penuntut ilmu untuk tafarrugh sehingga dia bisa mengambil bagian yang layak dari warisan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam,
yaitu ilmu. Tapi banyak juga diantara kita yang terluputkan dari
penerapan yang tak kalah pentingnya, bahwasanya para da’i termasuk ke
dalam atsar-atsar ini. Karena seorang da’i adalah penuntut ilmu, ilmu
syari’at ini bukanlah sesuatu yang ujungnya bisa dicapai dan tepinya
bisa digapai.
Penambahan
ilmu adalah sesuatu yang dituntut dari seorang muslim terlebih bagi
orang yang sudah menyiapkan dirinya untuk mengorbankan waktunya
menyebarkan ilmu bermanfaat yang diketahuinya kepada kaum muslimin. Hal
itu bisa dengan menelaah kitab-kitab ulama, membahas dan meneliti sebuah
permasalahan, menyimak kajian-kajian para ulama yang terekam, mengikuti
fatwa-fatwa mereka yang -sebagiannya- dirilis sampai tahap harian, dan
lain sebagainya dari sarana-sarana yang dimudahkan di zaman ini. Dia
juga bisa bertanya kepada ulama dan berkonsultasi langsung tentang
permasalahan yang dihadapi ataupun lewat perantaraan ikhwah yang masih
duduk bermajelis dengan ulama.
Rasa
tidak puas dengan diri sendiri dan keinginan untuk semakin dipahamkan
dalam masalah agama ini adalah sebuah hiasan yang mesti dikenakan
seorang da’i. Bagaimana tidak, Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah
memerintahkan Rosul-Nya, hamba dan pendakwah yang paling berilmu tentang
Robbnya, untuk mengatakan:
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Katakanlah (Wahai Muhammad), Wahai Robb tambahkanlah ilmu kepadaku”. (QS Thoha 114)
Dan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan ketika selesai sholat shubuh:
اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Yaa Alloh, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik dan amalan yang diterima”. (HR Ahmad, Ibnu Majah dll, dengan sanad yang shohih dari Ummu Salamah Rodhiyallohu ‘Anha)
Kalau
kita cermati para ulama yang menganjurkan untuk mencari nafkah dengan
tangan sendiri, mereka tidaklah menyarankan untuk berlebih-lebihan dalam
hal itu sehingga memberi porsi yang remeh apalagi melalaikan dari ilmu.
Demikian juga para ulama yang membolehkan mensyaratkan upah bagi yang
membutuhkan, mereka tidaklah menyatakan hal itu dalam rangka
menganjurkan.
Karena
itu bisa dijamak (digabung) kedua keutamaan ini dalam kondisi yang
berbeda. Kalau memang mereka sudah tidak memiliki apa-apa untuk menutupi
hajatnya, maka disarankan untuk berusaha dengan tangannya sendiri
sesuai kadarnya, karena usaha dengan tangan sendiri afdhol (lebih
utama), kemudian ketika kebutuhan tertutupi baik dari harta usahanya
sendiri ataupun santunan yang diberikan tanpa disyaratkan, maka dia
kembali tafarrugh karena dalam kondisi tersebut inilah yang afdhol. Inilah secara umum yang kita dapatkan kebanyakan ulama dalam masalah ini.
Pemilik kitab Dzammul Mas’alah, Syaikh Muqbil Rahimahulloh mengatakan:
على أني أنصح الأغنياء بمساعدته من غير أن يسأل، حتى يتفرغ للعلم والتعليم. والذي عليه دين أنصحه أن يعمل حتى يقضي الله دينه.
“(Di sisi lain) aku menasehatkan orang-orang kaya untuk membantunya (pengajar) tanpa dia minta, agar dia bisa tafarrugh untuk ilmu dan mengajar. Dan bagi yang punya hutang aku nasehatkan untuk bekerja sampai Alloh melunasi hutangnya”.
Next >> Halaman 11