Demikian
juga dengan riwayat dari Sa’id bin Musayyib, beliau berkata: “Mu’awiyah
datang ke Madinah -yaitu akhir kedatangannya kesana-, maka beliau
berkhotbah kepada kami dan mengeluarkan pintalan dari rambut. Beliau
berkata: “Aku tidak pernah melihat orang melakukan ini selain Yahudi.
Sesungguhnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menamakannya zuur”. (HR
Bukhory - Muslim)
Namun alasan ini bisa ditanggapi dengan beberapa jawaban, diantaranya:
Dalam syari’at ini, pada setiap amalan yang bakal dilakukan manusia mesti ada dua perkara yang harus dipertimbangkan, kadar manfaat yang didapatkan dari amalan tersebut dan kadar mudharat yang timbul darinya. Ketika manfaat lebih dominan dari mafsadat, ketika itulah amalan tersebut bisa dikerjakan.
Kita semua mengetahui bahwa kadar manfaat yang dibutuhkan manusia bertingkat-tingkat, ada yang wajib dipenuhi dan ada yang sekedar pelengkap. Hiasan sendiri termasuk jenis yang terakhir yang merupakan tambahan bagi seorang wanita. Pada hakikatnya Alloh telah memberikan kadar kecantikan pada setiap kaum hawa ataupun sesuatu yang menarik dari dirinya, perkara yang membuat kaum lelaki tersambar fitnah. Itulah sebabnya agama ini mensyari’atkan kepada seorang wanita untuk menutupi dirinya sehingga tidak terlihat oleh para lelaki yang bukan mahramnya.Karena lemahnya kadar manfaat pada masalah hiasan maka kadar mudarat (bahaya) yang ringan pun bisa menyainginya.
Kalau mau jujur, secara naluriah kita telah banyak menerapkan makna ini. Misalnya ketika seseorang memakai cincin di tangannya kemudian tangannya terasa gatal tentunya dia segera melepasnya. Mungkin ada yang terus memakainya sambil menahan rasa gatalnya tapi itu membuat jiwanya tidak tenang dan biasanya tidak bakal bertahan lama. Maka bagaimana jika bahaya yang ditimbulkan alat hiasan lebih besar dari itu, seperti alergi berkepanjangan, iritasi, ataupun kerusakan permanen. Terlebih lagi jika kerusakan tersebut berada pada tempat yang menjadi titik keindahan seperti wajah, bukankah perkara ini lebih pantas ditinggalkan?
Insyaalloh penerapan atuan-aturan ini akan terlihat jelas dan mudah dipahami ketika membaca penjelasan para ulama terkait ziinah wanita muslimah.
1. Hadits Mu’awiyah tersebut bukanlah dalam bentuk pembatasan masalah, sebagaimana dikenal dalam gaya bahasa arab. Konteks semacam itu bisa saja diterapkan untuk sekedar memberikan misal bagi sesuatu yang lebih umum. Contoh dekatnya sebagaimana seseorang ketika melihat morphin atau heroin, lantas mengatakan: “Ini adalah khamar yang mencelakakan manusia”. Tidak berarti maksudnya bahwa benda-benda lain yang memabukkan selain morphin dan heroin bukanlah khamar yang mencelakakan.
Namun alasan ini bisa ditanggapi dengan beberapa jawaban, diantaranya:
Dalam syari’at ini, pada setiap amalan yang bakal dilakukan manusia mesti ada dua perkara yang harus dipertimbangkan, kadar manfaat yang didapatkan dari amalan tersebut dan kadar mudharat yang timbul darinya. Ketika manfaat lebih dominan dari mafsadat, ketika itulah amalan tersebut bisa dikerjakan.
Kita semua mengetahui bahwa kadar manfaat yang dibutuhkan manusia bertingkat-tingkat, ada yang wajib dipenuhi dan ada yang sekedar pelengkap. Hiasan sendiri termasuk jenis yang terakhir yang merupakan tambahan bagi seorang wanita. Pada hakikatnya Alloh telah memberikan kadar kecantikan pada setiap kaum hawa ataupun sesuatu yang menarik dari dirinya, perkara yang membuat kaum lelaki tersambar fitnah. Itulah sebabnya agama ini mensyari’atkan kepada seorang wanita untuk menutupi dirinya sehingga tidak terlihat oleh para lelaki yang bukan mahramnya.Karena lemahnya kadar manfaat pada masalah hiasan maka kadar mudarat (bahaya) yang ringan pun bisa menyainginya.
Kalau mau jujur, secara naluriah kita telah banyak menerapkan makna ini. Misalnya ketika seseorang memakai cincin di tangannya kemudian tangannya terasa gatal tentunya dia segera melepasnya. Mungkin ada yang terus memakainya sambil menahan rasa gatalnya tapi itu membuat jiwanya tidak tenang dan biasanya tidak bakal bertahan lama. Maka bagaimana jika bahaya yang ditimbulkan alat hiasan lebih besar dari itu, seperti alergi berkepanjangan, iritasi, ataupun kerusakan permanen. Terlebih lagi jika kerusakan tersebut berada pada tempat yang menjadi titik keindahan seperti wajah, bukankah perkara ini lebih pantas ditinggalkan?
Insyaalloh penerapan atuan-aturan ini akan terlihat jelas dan mudah dipahami ketika membaca penjelasan para ulama terkait ziinah wanita muslimah.
1. Hadits Mu’awiyah tersebut bukanlah dalam bentuk pembatasan masalah, sebagaimana dikenal dalam gaya bahasa arab. Konteks semacam itu bisa saja diterapkan untuk sekedar memberikan misal bagi sesuatu yang lebih umum. Contoh dekatnya sebagaimana seseorang ketika melihat morphin atau heroin, lantas mengatakan: “Ini adalah khamar yang mencelakakan manusia”. Tidak berarti maksudnya bahwa benda-benda lain yang memabukkan selain morphin dan heroin bukanlah khamar yang mencelakakan.
Halaman 9
Next >>