-->
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ

DIANTARA SEBAB TERHALANGNYA SESEORANG DARI PETUNJUK AL-QUR’AN

Sebab Kedua: Tidak mengetahui metode penafsiran yang benar
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh dalam Majmu’ul Fatawa (13/ 58-59) mengatakan: “Sesungguhnya pengetahuan tentang apa yang dibawa oleh rosul dan apa-apa yang dimaksudkan denga lafazh-lafazh Al-Qur’an serta hadits, merupakan pokok ilmu, keimanan, kebahagiaan dan keselamatan. Kemudian baru pengetahuan tentang perkataan-perkataan orang dalam masalah ini (tafsir ayat dan hadits –pen) untuk meneliti manakah makna-makna yang cocok dengan rosul dan manakah makna-makna yang menyelisihi.
Lafazh-lafazh ada dua jenis. Lafazh-lafazh yang ditemukan dalam perkataan Alloh dan rosul-Nya, serta lafazh-lafazh yang tidak ditemukan dalam perkataan Alloh dan rosul-Nya. Maka kenali makna yang pertama dan jadikan hal itu sebagai pokok. Kemudian kenali yang kedua, yang dimaksudkan orang-orang untuk dikembalikan kepada yang pertama (untuk dilihat mana yang sesuai –pen). Inilah metode orang-orang yang mengikuti petunjuk dan sunnah. Sementara para pengikut kesesatan dan bid’ah, malah menempuh cara sebaliknya. Mereka menjadikan lafazh-lafazh yang mereka buat sebagai pokok, kemudian menjadikan apa-apa yang dikatakan Alloh dan rasul-Nya sebagai pengekor. Lalu mereka memalingkan dan mengubah makna Al-Qur’an dan hadits ke makna yang mereka inginkan. Mereka mengatakan: “Kami menafsirkan Al-Qur’an dengan akal dan sisi bahasa”. Maksud mereka bahwa mereka meyakini makna dengan akal dan pendapat mereka, kemudian memalingkan makna Al-Qur’an semampu mungkin dengan pemalingan dan penafsiran-penafsiran yang mengandung pengubahan perkataan dari tempatnya. Karena itulah Imam Ahmad mengatakan: “Paling banyak kesalahan manusia adalah dari sisi pemalingan makna dan qiyas (perbandingan)” Selesai

Sebab Ketiga: Kelemahan dalam ilmu hadits (periwayatan) sehingga tidak bisa membedakan mana riwayat yang sah dan mana yang tidak.
Banyak tafsir yang disandarkan kepada Rosululloh, shohabat maupun kalangan salaf, namun tak jarang dari riwayat-riwayat tersebut yang tidak sah, yang kemudian justru dijadikan patokan dalam penafsiran. Kesalahan-kesalahan ini tidak hanya muncul di kalangan awam, namun juga terdapat di kalangan orang-orang yang bergelut dalam bidang tafsir.
Syaikhul Islam Rahimahulloh –dalam konteks bantahannya terhadap gembong Rofidhoh-: “Adapun yang dinukilkannya dari tafsir Ats-Tsa’laby, maka sungguh para ulama hadits telah sepakat bahwa Ats-Tsa’laby meriwayatkan sebagian dari hadits-hadits palsu, seperti hadits yang dia riwayatkan di setiap awal surat dari Abu Umamah tentang keutamaan surat tersebut, juga hadits-hadits yang semisal dengannya. Karena itulah para ulama hadits mengatakan: “Dia adalah haatibul lail (pencari kayu bakar di malam hari. Ungkapan bagi orang yang asal ambil riwayat. Karena pencari kayu bakar di malam hari tidak bisa membedakan antara kayu dan ular -pen)”.

Next >>                                                             Halaman 2