Demikian juga dengan Al-Wahidy –muridnya-, dan yang semisal dengan keduanya dari kalangan juru tafsir yang menukilkan riwayat-riwayat yang shohih dan dho’if. Oleh karena itu, ketika Al-Baghowy berilmu tentang ilmu hadits dan lebih mengetahui bidang tersebut ketimbang Ats-Tsa’labi dan Al-Wahidy, maka pada tafsirnya –yang merupakan ringkasan tafsir Ats-Tsa’laby- dia tidak menyebutkan satupun dari hadits-hadits palsu yang diriwayatkan oleh Ats-Tsa’laby dan dia juga tidak menyebutkan tafsir-tafsir ahlul bid’ah yang disebutkan oleh Ats-Tsa’laby. Ats-Tsa’labi memiliki kebaikan dan kadar keagaman namun tidak tidak memiliki keahlian dalam hadits, dan pada banyak pendapat-pendapat dia juga tidak membedakan antara sunnah dengan bid’ah. Adapun para ulama besar, para ahli tafsir seperti tafsir Muhammad bin Jarir Ath-Thobary, Baqiy bin Makhlad, Ibnu Abi Hatim, Ibnul Mundzir, ‘Abdurrahman bin Duhaim dan yang semisal mereka, maka pada tafsir-tafsirnya mereka tidak menyebutkan semisal hadits-hadits palsu ini, tak usah sebut orang-orang yang-orang yang lebih berilmu dari mereka seperti tafsir Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rohawaih“. [Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah fi Naqdhi Kalami Asy-Syi’ah Al-Qodariyah 7/13]
Sebab Keempat: Berpatokan pada berita-berita dari Ahlul Kitab (Isro’iliyyat)
Jika periwayatan tidak dengan sanad yang sah dari para salaf maka ini di luar pembahasan, namun jika dinukilkan memang sah sanadnya dari mereka maka kita perlu memberi perincian. Jika berita itu ada pendukung dari syariat kita maka kita benarkan, apabila syari’at kita mendustakannya maka kita dustakan. Adapun jika berita yang diriwayatkan tidak masuk ke kelompok pertama ataupun kedua maka perkara ini adalah sesuatu yang boleh disampaikan namun hukumnya: Tidak dibenarkan dan tidak didustakan. Pada jenis inilah sabda Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam:
إِذَا حَدَّثَكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَلَا تُصَدِّقُوهُمْ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ، وَقُولُوا: آمَنَّا بِاللهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، فَإِنْ كَانَ حَقًّا لَمْ تُكَذِّبُوهُمْ، وَإِنْ كَانَ بَاطِلًا لَمْ تُصَدِّقُوهُم
“Apabila kalian meriwayatkan dari ahlul kitab maka jangan kalian benar dan jangan pula kalian dustakan, katakanlah: “Kami beriman kepada Alloh, kitab-kitab-nya dan para rosul-Nya”. Apabila (yang disampaikan) benar maka kalian tidak mendustakannya dan apabila (yang disampaikan) batil maka kalian tidak membenarkannya” (HR Ahmad dishohihkan Syaikh Al-Albany dengan penguat-penguatnya)
Ibnu Katsir Rahimahulloh mengatakan –tentang kisah Nabiyulloh Ibrohim ‘Alaihis Salam-: “Yang banyak dikisahkan oleh para ahli tafsir dan selain mereka, umumnya hadits-hadits bani Isro’il. maka yang mencocoki al-haq yang ada pada kita yang sampai dari Rosululloh kita terima karena mencocoki sesuatu yang benar, dan sesuatu apapun yang menyelisihinya (dalil syari’at pent) kita tolak. Sementaraya tidak ada sisi kecocokan dan tidak ada juga sisi penyelisihan, maka kita tidak membenarkan dan tidak mendustakannya namun kita tawaqquf (diam tidak memberi penilaian). Apa-apa yang masuk ke dalam jenis ini, maka banyak dari kalangan salaf memberi keringanan untuk meriwayatkannya dan kebanyakan riwayat-riwayat tersebut termasuk apa-apa yang tidak ada faidahnya, tidak juga menghasilkan apa-apa yang bermanfaat dalam agama. Seandainya terdapat faidah yang kembali kepada para mukallaf (yang terkena beban syari’iat –baligh berakal) pada agama mereka, tentulah syari’at yang sempurna dan mencakup segala sisi ini (yaitu Islam) telah memberikan penjelasan. Sikap yang kami tempuh dalam tafsir ini (Tafsir Ibn Katsir) adalah berpaling dari kebanyakan hadits-hadits isro’iliyyat karena membuang-buang waktu dan kebanyakannya mengandung kedustaan yang mereka lariskan. Karena mereka Ahlul kitab) tidak membedakan apa-apa yang ada pada mereka, antara riwayat yang sehat dengan yang cacat, sebagaimana dijelaskan para Imam Huffazh (penghapal dan peneliti hadits) yang kokoh keilmuannya dari umat ini”. [Tafsir surat Al-Anbiya’ 51-56]
Next >> Halaman 3