Juga dimaklumi, bahwa kebanyakan kitab-kitab suci yang ada di tangan mereka telah mengalami perubahan-perubahan. Ibnu Katsir Rahimahulloh mengatakan: “Kemudian perlu diketahui bahwa mayoritas yang mereka sampaikan adalah dusta dan mengada-ada karena berita-berita mereka telah dimasuki rekayasa-rekayasa, penggantian-penggantian, perubahan-perubahan dan pemalingan-pemalingan makna. Betapa sedikit kebenaran padanya, kemudian berapa sedikit faidah pada kebanyakannya apabila beritanya benar”. [Tafsir surat Al-‘Ankabut 46]
Sebab Kelima: Berkembangnya tafsir-tafsir dan pemikiran-pemikiran yang menyimpang di kalangan kaum muslimin
Setiap kelompok yang menyandarkan dirinya kepada Islam meyakini bahwa pendalilan dengan Al-Qur’an bakal memperkokoh keberadaan pemikiran mereka. Karena itulah banyak dari mereka mengeluarkan tafsir-tafsir yang sesuai dengan pemikiran mereka walaupun mesti dengan melakukan penyimpanan makna. Penyusupan pemahaman lewat jalur tafsir ini dianggap lebih mudah karena gampang percayanya kebanyakan manusia sebagaimana apa yang mereka perbuat pada riwayat-riwayat hadits dengan mendatangkan hadits-hadits palsu atau menyimpangkan makna hadist-hadits yang sah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh mengatakan: “Sesungguhnya kaum salaf sandaran mereka adalah dengan Al-Qur’an dan keimanan. Maka ketika muncul perpecahan dan perselisihan, jadilah para pemecah dan penyelisih tersebut berkelompok-kelompok. Sandaran yang dipakai dalam batin mereka bukanlah Al-Qur’an dan keimanan akan tetapi dibangun di atas prinsip-prinsip yang dibuat oleh para sesepuh mereka. Mereka bersandar di atas prinsip prinsip tersebut dalam perkara tauhid, sifat Alloh, qadar, keimanan dengan rasul dan selainnya. Kemudian apa-apa yang mereka kira dari Al-Qur’an yang mencocoki prinsip-prinsip tersebut mereka pakai sebagai hujjah. Adapun apa-apa dari Al-Qur’an yang menyelisihi prinsip-prinsip mereka, mereka palingkan maknanya. Karena itu anda dapatkan jika mereka berhujjah dengan Al-Qur’an dan hadits, mereka tidak fokus dalam mengeluarkan pendalilan-pendalilan dari keduanya, dan mereka juga tidak menyelidiki secara mendalam makna yang ada di dalam Al-Qur’an. Hal tersebut dikarenakan yang menjadi sandaran bagi mereka dalam suatu masalah bukanlah hal itu (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Sementara ayat-ayat yang menyelisihi mereka, maka mereka akan bersegera memalingkan maknanya sebisa mungkin seperti cepatnya orang yang ingin membantah ayat-ayat tersebut. Bukanlah yang menjadi maksud baginya untuk memahami maksud rosul, akan tetapi tujuannya untuk menolak lawan bicaranya dari berhujjah dengan ayat-ayat tersebut”. [Majmu’ul Fatawa 13/ 58-59]
Sebab Keenam: Perhatian tentang ilmu Al-Qur’an difokuskan pada perkara hapalan, bacaan dan riwayat-riwayat Qiro’at, namun lengah dari sisi pemahaman. Imam Az-Zarkasy Rahimahulloh dalam Al-Burhan mengatakan: “Makruh membaca Al-Qur’an tanpa tadabbur. Pada masalah inilah hadits ‘Abdillah bin ‘Amr (Rosululloh bersabda):
لَا يَفْقَهُ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فِي أَقَلَّ مِنْ ثَلَاث
“Tidak akan paham orang yang (menyelesaikan) membaca Al-Qur’an kurang dari tiga (hari)”(1)
Demikian juga dengan perkataan Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘Anhu kepada orang yang mengabarkan bahwa dirinya sholat malam dengan (menyelesaikan) Al-Quran dalam satu malam: Apakah cepatnya seperti cepatnya membaca syair”(2)
Demikian juga perkataan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada sifat khawarij:
يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ وَلَا حَنَاجِرَهُمْ
"Mereka membaca Al-Qur'an tapi tidak melewati tulang kerongkongan mereka tidak juga pangkal tenggorokannya"(3)
Rosululloh mencela mereka karena mereka betul-betul meluruskan bacaan namun meninggalkan pemahaman tentang makna-maknanya”. Selesai penukilan
Next >> Halaman 4