HARI-HARI INI JUGA HARI-HARI MEMPERBANYAK DZIKR
Alloh Ta’ala berfirman:
ِليَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَام
“Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mereka menyebut nama Alloh pada hari-hari yang telah dimaklumi atas rezki yang telah Dia berikan kepada mereka berupa hewan ternak” (QS Al-Hajj 28)
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ
“Berdzikirlah kepada Alloh pada hari-hari yang telah ditentukan jumlahnya” (QS Al-Baqoroh 203)
Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu menafsirkan bahwa: “hari-hari yang telah dimaklumi” adalah sepuluh hari pertama (Dzulhijjah), sementara “hari-hari yang telah ditentukan jumlahnya” adalah hari-hari Tasyrik. (Diriwayatkan Al-Baihaqy di Syu’abul Iman)[5]
Dalam riwayat lain pada hadits Nubaisyah Al-Hudzali Rodhiyallohu ‘Anhu terdahulu, terdapat tambahan:
وذكر لله
“Dan berdzikir kepada Alloh”. (HR Muslim)
Jadi mulai dari tanggal satu sampai tiga
belas Dzulhijjah adalah hari-hari mulia dimana kaum muslimin dianjurkan
untuk banyak berdzikir, terlebih pada sepuluh hari pertama karena itu
adalah hari-hari yang paling mulia di sisi Alloh.
Diantara hikmah-Nya yang agung, Dia Subhanahu wa Ta’ala
tidak menciptakan hamba-Nya untuk bermain-main saja. Kegembiraan yang
terjadi pada hari-hari ‘Ied bukanlah kegembiraan yang kosong dari
penghayatan akan keagungan agama ini. Karena perayaan adalah bagian dari
agama, Alloh memiliki hikmah dalam menetapkan perkara tersebut
–diantaranya yang disebutkan dalam hadits ‘Aisyah di atas-. Tidak mesti
ada pertentangan antara kegembiraan di hari-hari tersebut dengan
penghambaan kita kepada Alloh, hal itu ditunjukkan dengan
disyari’atkannya memperbanyak dzikrulloh pada hari-hari itu.
Singkatnya, hari-hari tersebut bukan
untuk makan dan minum saja akan tetapi dibarengi dengan banyak berdzikir
kepada Alloh. Kondisi ini jika kita terapkan maka akan mengokohkan
keimanan pada hati-hati kita. Kenapa? Karena dengannya kita menyadari
bahwa apa-apa yang dikaruniakan bagi kita semuanya adalah karena
rahmat-Nya. Dengannya kita sadar bahkan kita hidup bukan untuk
bermain-main dan berpesta pora, sehingga kita terjaga dari kelengahan
dan kelalaian terhadap perkara akhirat. Karena makanan, minuman,
pakaian, dan hiburan merupakan perkara-perkara yang disukai jiwa dan
bisa menghanyutkan pemiliknya kepada jalan yang tidak diridhoi-Nya.
BOLEHKAH BERPUASA DI HARI-HARI MAKAN DAN MINUM?
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ، عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ، وَهُنَّ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari ‘Arofah, hari An-Nahr (‘idul Adha –pen) dan hari hari Tasyrik adalah hari raya kita penganut agama Islam, dan itu adalah hari-hari makan dan minum”, (HR Ahmad, Abu Daud dan selain mereka dari ‘Uqbah bin ‘Amir Rodhiyallohu ‘Anhu).[6]
Masalah keharaman puasa pada hari ‘Iedul Fithri maupun ‘Iedul Adha dalilnya jelas. Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن صيام يومين يوم الأضحى، ويوم الفطر
“Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada dua hari, hari (‘Iedul) Adha dan (‘Iedul) Fithri” (HR Bukhory-Muslim dari Abu Hurairoh, ‘Umar dan Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu ‘Anhum)
Sementara untuk hari-hari sisanya (Hari ‘Arofah dan hari-hari Tasyrik)
terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama berdalil
dengan hadits ‘Uqbah bin ‘Amir tersebut sebagai lantasan atas larangan
puasa pada hari tasyrik karena merupakan hari ‘ied, namun
sebagiannya membantah dengan adanya penyebutan hari ‘Arofah pada hadits
tersebut, sementara puasa pada hari ‘Arofah disyari’atkan, maka tidak
mesti puasa pada hari Tasyrik juga dilarang.
Untuk meringkas pembahasan dan mempermudah alur pemahaman, kita simak dulu perkataan Imam Ibnu Rojab Rahimahulloh Ta’ala dalam masalah ini, karena perincian yang beliau nukilkan dari jumhur (mayoritas) ulama adalah pendapat terkuat dalam masalah ini wallohu a’lam.[7]
Beliau Rahimahulloh Ta’ala
mengatakan: “Terjadi polemik dalam pengarahan hadits ini oleh kebanyakan
ulama karena hadits tersebut menunjukkan bahwa hari ‘Arofah adalah hari
‘ied yang tidak boleh puasa sebagaimana diriwayatkan dari sebagian
ulama terdahulu. Sebagian ulama membawa larangan (puasa) bagi jemaah
haji yang ketika itu sedang wukuf (di pada ‘Arofah) dan ini adalah
pendapat yang shohih. Karena pada hari itu merupakan tempat bertemu dan
berkumpul yang terbesar bagi mereka (para jema’ah haji) berbeda dengan
orang yang tinggal di daerah-daerah (yakni yang tidak melakukan haji
–pen) sebab perkumpulan mereka adalah pada hari An-Nahr (‘Idul Adha). Sementara hari-hari tasyrik
maka berlaku hukumnya untuk orang-orang yang di daerah-daerah dan para
jema’ah haji karena itu adalah hari-hari penyembelihan dan makan-makan
hewan kurban mereka. Ini adalah pendapat mayoritas ulama”. [Fathul Bary karya Ibnu Rojab 1/173]
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan: “Yang dimaksud dengan ‘Ied pada hari ‘Arofah adalah ‘ied bagi jema’ah haji, jadi pembahasan larangan puasa pada hari ‘Arofah khusus bagi mereka.
Adapun hari ‘ied pada hari-hari tasyrik
berlaku umum bagi jema’ah haji maupun yang tidak, maka larangan puasa
pun berlaku umum (kecuali jika ada dalil yang mengkhususkan sehingga
keluar dari larangan tersebut -pent)”.
Next >> Halaman 3