Kemungkinan
lebih dekat adalah yang dibawakan sebagian ulama bahwasanya maknanya
disesuaikan dengan kondisi Ibnu ‘Abbas dan kondisi penduduk Madinah
ketika itu, dimana sikap Ibnu ‘Abbas yang tidak memakai ru’yah
Mu’awiyyah adalah karena beritanya sampai di pertengahan puasa sehingga
otomatis mereka tidak melakukan puasa pada hari pertama yang dilakukan
Mu’awiyah. Adapun jika dikatakan sebagai dalil atas perbedaan mathla’,
maka pendapat ini terbantah sendiri -oleh sebagian mereka-, karena
mathla’ Syam dan Madinah adalah satu, sebab dekatnya perbedaan waktu
mereka. Inilah pendapat yang dikuatkan Syaikhuna Muhammad bin Hizam
Hafizhohulloh.
Syaikhul
Islam Rahimahulloh mengatakan: “Seandainya dikatakan: “Apabila berita
tersebut datang kepada mereka pada ditengah-tengah puasa (telah lewat
hari pertama –pent) maka mereka tidak membangun pusa mereka kecuali atas
ru’yah mereka sendiri, berbeda halnya jika berita itu sampai pada hari
pertama”, tentunya kemungkinan ini memiliki sisi (pembenaran)” [Majmu’ul
Fatawa 25/109]
Imam
Ath-Thohawy Rahimahulloh mengatakan: “Isi hadits Kuraib adalah
pengkabarannya kepada ibnu ‘Abbas tentang ru’yah bulan Romadhon, pada
waktu yang telah telat pengamalan puasa dengan ru’yah tersebut. [Syarh
Musykilil Atsar 1/425]
Syaikh
Al-Albany Rahimahulloh mengatakan: “Sepertinya pendapat yang terkuat
adalah perkataan: “Sesungguhnya hadits Ibnu ‘Abbas berlaku pada
orang-orang yang berpuasa dengan ru’yah negerinya, kemudian di
tengah-tengah romadhon datang kabar bahwasanya penduduk negeri lain
telah melihat hilal sehari sebelum mereka. Maka dalam kondisi ini,
seseorang terus berpuasa dengan penduduk negerinya sampai mereka
menyempurnakan tiga puluh atau mereka melihat hilal (syawwal). Dengan
demikian hilanglah problema, dan hadits Abu Hurairoh serta yang lainnya
tetap berada dalam keumuman yang mencakup setiap orang yang sampai
berita ru’yah kepadanya dari negeri dan kawasan manapun, yang memang
pada asalnya tidak ada batasan jarak” [Tamamul Minnah 398]
PUASA BERSAMA PEMIMPIN MUSLIMIN
Sebagaimana
kita singgung sebelumnya, bahwa sisi pandang pendapat ketiga ini keluar
dari pokok perbedaan pengamalan ru’yah yang diperselisihkan, karena itu
bisa saja pendapat ini mencocoki pendapat yang pertama ataupun yang
kedua, yang secara garis besar bisa kita lihat dalam dua kondisi.
Kondisi
pertama yaitu apabila kawasan Islam berada dalam satu kepemimpinan,
tentunya pendapat ini akan menjurus ke pendapat yang pertama, karena
semua kaum muslimin berpuasa dengan satu ru’yah yaitu yang ditetapkan
pemimpin.
Kondisi
kedua yang banyak dipraktekkan namun dalam skala yang lebih kecil yaitu
negara. Hal ini dikarenakan kondisi kaum muslimin yang terpisah dalam
bentuk negara-negara yang berdiri sendiri. Pada hakikatnya kondisi ini
bakal kembali kepada kedua pendapat yang telah disebutkan, dalam artian:
yang berpendapat dengan pendapat ketiga, mereka mengikuti mazhab yang
ditetapkan pemimpin. Baik pemimpin tersebut berpendapat dengan pendapat
pertama atau berpendapat dengan pendapat kedua. Namun secara umum,
pendapat ini mengisyaratkan penyelisihan terhadap pendapat yang pertama
karena adanya kemungkinan bagi pemimpin setiap negara untuk menetapkan
jadwal puasa, menunjukkan tidak adanya keharusan untuk saling mengikuti
satu sama lain. Adapun sisi perbedaannya dengan pendapat kedua adalah
bahwa pendapat ketiga menjadikan batas teritorial sebagai acuan
perbedaan waktu.
Dengan
kondisi ini bisa saja seorang Indonesia yang tinggal di kampung
perbatasan menunaikan puasa, sementara saudaranya seorang Malaysia yang
tinggal di kampung sebelah masih menunggu ru’yah pemimpinnya. Rasanya,
penjelasan Syaikhul Islam –yang telah dinukilkan terdahulu mengenai
batasan mathla’- cukup menjadi jawaban yang menunjukkan lemahnya
pendapat ini.
Next >> Halaman 5