2. Menjauhi hawa nafsu, fanatik, dan tujuan jelek.
Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:
وَلْيَحْذَر المتكلمُ في هذا الفن من التساهل في الجرح والتعديل؛ فإنه إنْ عدّلَ بغيرِ تثبتٍ كان كالمُثْبِتِ حُكْماً ليس بثابتٍ، فَيُخْشَى عليه أن يَدْخل في زمرة مَن روى حديثاً وهو يُظَن أنه كَذِب
"Hendaknya orang-orang yang berbicara dalam perkara ini hati-hati dari bermudah-mudahan dalam jarh dan ta’dil karena jika dia memuji tanpa bukti maka itu adalah seperti menetapkan hukum yang tidak tetap maka dikhawatirkan akan masuk dalam golongan orang yang meriwayatkan hadits yang diduga bahwa itu adalah dusta.
وإن جَرَحَ بغيرِ تحرزٍ أَقدَمَ على الطعن في مسلمٍ بريءٍ من ذلك، ووَسَمه بِمِيْسَمِ سوءٍ يَبْقى عليه عارُهُ أبداً.
Demikian juga jika dia menjarh tanpa berhati-hati, maka dia telah maju untuk mencela seorang muslim yang bersih dari hal itu dan mensifatinya dengan sifat yang jelek maka kejelekan tersebut akan jadi tanggung jawabnya selamanya.
والآفة تَدْخل في هذا تارةً مِن الهوى والغرضِ الفاسدِ. وكلامُ المتقدمين سالِمٌ مِن هذا، غالباً.
Kerusakan-kerusakan masuk ke dalam masalah ini terkadang disebabkan hawa nafsu dan tujuan yang rusak. Adapun komentar ulama-ulama terdahulu, mayoritasnya selamat dari hal ini”. [Nuzhatun Nazhor fii Tawdhiih Nukhbatil Fikar fii Mushtolah Ahlil Atsar 178]
Beliau Rahimahullah berkata dalam Lisanul Mizan (1/16):
والكلامُ في الرُّواة يَحتاجُ إلى وَرَعٍ تامّ ، وبَراءةٍ من الهوى والمَيْل
"Membicarakan keadaan rawi butuh kepada waro’ yang sempurna dan bebas dari hawa nafsu dan kecondongan hati …".
Next Halaman 2