-->
مَثَلُ الَّذِيْ يَطْلُبُ الْعِلْمَ بِلاَ حُجَّةٍ كَمَثَلِ حَاطِبِ لَيْلٍ، يَحْمِلُ حُزْمَةَ حَطَبٍ وَفِيْهِ أَفْعَى تَلْدَغُهُ وَهُوَ لاَ يَدْرِيْ

SIRWAL DAN BEBERAPA HUKUM YANG TERKAIT DENGANNYA

Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan: “Yang menjadi pembicaraan kita hanyalah pada perkara yang kita dilarang untuk tasyabbuh dengan mereka, yaitu pada perkara yang salaful ummah tidak pernah melakukannya. Adapun jika salaful ummah melakukannya, maka tidak ada keraguan baik mereka (orang kafir) melakukannya atau tidak, karena kita tidak meninggalkan apa yang Alloh perintahkan gara-gara orang kafir melakukannya”. [Majmu’ul Fatawa wa Rosa’il Al-‘Utsaimin 7/189]

Demikian juga pada perkara yang salaful ummah melakukannya namun yang hukumnya sekedar menunjukkan hukum bolehnya saja, maka tidak ada alasan kita mengharamkannya gara-gara orang kafir melakukannya, sebagaimana disimpulkan dari perkataan para ulama dalam penjelasan yang telah lewat, wallohu a’lam.
Imam Asy-Syaukany Rahimahulloh mengatakan: Adapun pertanyaan penanya –semoga Alloh memaafkannya- tentang berjalan di jalan dan pasar tanpa memakai sarung:
Apabila yang dimaksud dengan sarung adalah sarung yang dengannya seseorang menutupi auratnya, dan “orang yang berjalan” yang ditanyakan adalah dalam keadaan telanjang maka ini haram, tanpa ragu dan samar …

Apabila yang dimaksudkan dengan “berjalan di jalan dan pasar tanpa memakai sarung” adalah makna yang lain selain makna yang nampak ini, misalkan dia ingin meninggalkan sarung yang dahulu merupakan syi’ar shohabat Rodhiyallohu ‘Anhum dan memakai selainnya seperti sirwal, maka yang seperti ini tidak diingkari, karena dia telah menutup auratnya dengan sesuatu yang lebih memadai dalam menutup (aurat) dari pada sarung”. [Al-Fathur Robbany 6/3196]

Beliau juga berkata dalam mensyarah hadits Abu ‘Umamah: “Pada hadits ini terdapat izin untuk memakai sirwal, serta bahwasanya penyelisihan terhadap ahlul kitab bisa dihasilkan dengan semata-mata memakai sarung di sebagian waktu bukan dengan meninggalkan sirwal di seluruh keadaan.” [Nailul Author 2/123]

Ini makna lain dari pemahaman hadits, dimana makna perintah disini mirip dengan makna perintah “Pakailah khuf dan sandal kalian”, yakni terkadang pakai khuf atau sandal, bukan memakai keduanya sekaligus. Jadi jika terkadang memakai sirwal dan terkadang memakai sarung, telah menghasilkan bentuk penyelisihan, wallohu a’lam.
Syaikh Al-Albany Rahimahulloh ditanya: Apakah memakai sirwal termasuk tasyabbuh dengan orang-orang kafir, jika tanpa disertai qomis dan imamah?
Beliau menjawab: “Saya tidak tahu apakah yang dimaksud penanya adalah sirwal yang longgar ataukah yang dimaksudnya adalah pantholun, sehingga terjadi pertukaran nama sirwal dengan nama pantholun.
Apabila yang dimaksud penanya adalah sirwal yang kami pahami, yaitu pakaian yang longgar dan lebar yang masih digunakan sebagian muslimin, maka memakai yang semisal ini bukanlah termasuk tasyabbuh dengan orang kafir.
Adapun pantholun, maka kami telah berbicara berulang-ulang kali bahwa itu bukanlah pakaian muslimin …”. [Durus Syaikh Al-Albany 32]  

PERKATAAN ABU HURAIROH: “AKU MENDUGANYA MENGATAKAN: “… DENGAN TUBBAN DAN RIDA’”.

Tubban adalah pakaian yang ukurannya sekitar sejengkal menutupi aurat mughollazhoh (pantat dan kemaluan), seringnya dipakai oleh nelayan. [Lihat: An-Nihayah-Ibnul Atsir, Lisanul Arab]
Rasanya bagi sebagian kita pakaian ini tidaklah asing, dahulu banyak dipakai orang-orang tua sebagai pakaian dalam, juga yang dipakai para pelari, na’udzubillah.

Next >>                                                                         Halaman 10